Tank Israel.(Al-Jazeera)
SERANGAN Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober serta respons militer besar-besaran dari Israel di Jalur Gaza, Palestina, memicu kekhawatiran meluasnya konflik di kawasan Timur Tengah. Pemerintah Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, secara terbuka menyatakan tekad untuk menghancurkan Hamas hingga tuntas.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengerahkan tank, artileri, dan pasukan ke garis perbatasan Gaza sebagai persiapan untuk kemungkinan operasi darat. Di saat yang sama, bentrokan antara IDF dan kelompok militan Libanon, Hizbullah, di perbatasan utara Israel menambah kekhawatiran bahwa perang dapat menyebar ke front baru.
Berikut gambaran kemampuan militer Hamas dan Hizbullah versus IDF.
Hamas: Kekuatan Terowongan dan Serangan Roket
Didirikan pada 1987 oleh Sheikh Ahmed Yassin, Hamas berkembang dari gerakan perlawanan menjadi organisasi militan dengan struktur militer yang kompleks.
Kelompok ini membangun jaringan terowongan bawah tanah di Gaza hingga mencapai sebagian wilayah Israel dan Mesir atau infrastruktur yang dirancang untuk menyembunyikan pejuang dan mempersulit deteksi oleh IDF.
Pada perang 2021, Hamas melepaskan lebih dari 4.000 roket ke wilayah Israel dalam kurun 11 hari. Sayap militernya, Brigade Izz ad-Din al-Qassam, tidak pernah merilis jumlah resmi pejuangnya. Namun perkiraan berkisar antara 7.000 hingga 50.000 personel.
Dilansir DW.com, Rabu (1/10), seorang sumber anonim menyebutkan bahwa Hamas memiliki akademi militer yang melatih pasukan dalam berbagai bidang, termasuk keamanan siber, serta sekitar 40.000 anggota militer aktif dengan unit komando laut.
Persenjataan Hamas mencakup roket rakitan, mortir, bahan peledak, hingga rudal anti-tank berpemandu dan rudal antipesawat MANPADS. Ini menjadikannya salah satu pasukan gerilya dengan perlengkapan paling lengkap.
"Kami memiliki roket buatan lokal, tetapi roket jarak jauhnya berasal dari luar negeri, yang berasal dari Iran, Suriah, dan sumber-sumber lain melalui Mesir," kata pemimpin Hamas Ismail Haniyeh kepada Al Jazeera dalam wawancara tahun 2022.
Selain itu, Hamas disebut memperoleh pendanaan melalui mata uang kripto dan jaringan amal global.
Hizbullah: Milisi Nonnegara dengan Senjata Berat
Hizbullah lahir di Libanon pada 1982 saat invasi Israel ke negara itu. Kelompok Syiah ini berkembang menjadi kekuatan politik sekaligus militer dan kerap disebut sebagai salah satu aktor nonnegara dengan senjata terbanyak di dunia.
Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah pernah mengeklaim memiliki 100.000 pejuang. Namun, para analis memperkirakan kekuatan sebenarnya berkisar 15.000-20.000 prajurit aktif dengan tambahan puluhan ribu anggota cadangan.
Dengan dukungan Iran, Hizbullah memiliki roket jarak jauh presisi yang mampu menghantam infrastruktur vital Israel serta mengancam akses maritim negara itu.
Meski sebagian besar persenjataannya berupa roket kecil dan tak berpemandu, jumlahnya yang besar tetap menjadi ancaman bagi pasukan konvensional.
Kelompok ini juga memiliki sistem pertahanan udara seperti SA-22 buatan Rusia yang dapat menargetkan pesawat, helikopter, rudal, hingga drone.
Dalam perang 2006, Hizbullah menembakkan ribuan roket ke Israel. Konflik tersebut menewaskan sekitar 1.200 orang di Libanon sementara Israel mencatat kurang dari 160 korban, mayoritas tentara.
IDF: Kekuatan Udara dan Teknologi Tinggi
Menurut Global Firepower Index, IDF termasuk dalam jajaran militer terkuat dunia. Persenjataannya meliputi kapal rudal, tank tempur, helikopter serang, dan armada drone skala besar.
Kekuatan utamanya terletak pada angkatan Udara yang diperkuat ratusan jet tempur F-16 dan F-35 buatan Amerika Serikat.
Israel juga mengoperasikan drone bunuh diri (loitering munitions) seperti Harop dan Harpy, yang mampu mencari dan menghancurkan target secara otonom.
Global Firepower mencatat IDF memiliki sekitar 169.500 pasukan aktif. Menyusul serangan 7 Oktober, pemerintah memobilisasi sekitar 360.000 tentara cadangan dari total 460.000 warga yang mengikuti pelatihan militer rutin.
Pada 2022, Israel mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar US$23,4 miliar. Dukungan tambahan datang dari Amerika Serikat, yang secara konsisten memberikan bantuan militer sekitar US$3 miliar per tahun sejak 2017.
Merespons eskalasi terbaru, Washington mengirimkan kapal perang dan pesawat ke kawasan untuk menunjukkan dukungan bagi Israel. (I-2)


















































