Ilustrasi(ANTARA/JOJON)
PERUBAHAN lanskap geopolitik global kian dipengaruhi dinamika sumber daya strategis, khususnya mineral tanah jarang (rare earth elements/REE) sebagai kunci bagi teknologi modern.
Dalam laporannya yang dipublikasikan di forum Valdai terbaru, Prof Connie Rahakundini Bakrie mengungkapkan berkembangnya blok kerja sama BRICS menjadi BRICS+ tidak hanya memperluas ruang ekonomi global, tetapi juga menghadirkan peluang dan risiko baru bagi negara-negara yang dulu tergabung dalam Gerakan Non Blok (GNB).
“Rare earth materials menjadi tulang punggung industri berteknologi tinggi, mulai dari energi terbarukan, kendaraan listrik, hingga sistem militer canggih,” tulis Connie dalam laporan tersebut.
Menurut orang Indonesia yang jadi Guru Besar Universitas St Petersburg itu, akses terhadap mineral langka ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga soal keamanan nasional.
Ia mengatakan kartelisasi mineral tanah jarang kini jadi isu krusial. “Kartelisasi terjadi ketika sekelompok negara atau blok seperti BRICS+ mengoordinasikan kebijakan ekspor, membatasi pasokan, dan memengaruhi harga global demi kepentingan strategis kolektif,” sebut Connie.
Ia memaparkan posisi Tiongkok sangat dominan dalam rantai pasok ini. Dengan menguasai lebih dari 60% produksi dan sekitar 90% kapasitas pemrosesan global, Beijing dinilai efektif melakukan kartelisasi pasar. "Dampaknya, negara-negara lain sangat bergantung pada pasokan yang bisa dijadikan alat tawar-menawar politik dan ekonomi," kata dia.
Bagi negara-negara non blok, ujar Connie, dominasi semacam ini menimbulkan dilema. “Pertama, mereka menghadapi risiko gangguan pasokan dan volatilitas harga yang dapat berdampak buruk pada industri domestik dan keamanan nasional. Kedua, negara-negara ini justru berpotensi bergabung atau bahkan membentuk kartel alternatif untuk menyeimbangkan dominasi BRICS+,” kata Connie.
Dengan kata lain, menurut dia, negara-negara Non-Blok harus memilih antara tetap berpegang pada prinsip tradisional non-alignment yang cenderung membela atau tergabung di poros politik tertentu, atau secara pragmatis menyesuaikan diri dengan logika geopolitik baru yang berbasis pada sumber daya.
Menurut Connie, Indonesia sebagai salah satu contoh menarik dalam dinamika ini. Indonesia kini tengah menjalankan strategi partial multi-alignment dengan mengejar keanggotaan di BRICS sekaligus OECD, untuk meraih peluang ekonomi tanpa mengorbankan otonomi politik.
"Langkah ini mencerminkan upaya Indonesia menyeimbangkan hubungan dengan Barat dan pada saat yang sama memperkuat posisi dalam kerja sama Selatan-Selatan. Sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, yang juga masuk kategori mineral rare earth, Indonesia memiliki potensi strategis menjadi pemain penting dalam kartelisasi atau konsorsium sumber daya di masa depan," katanya.
Connie pun merekomendasikan sejumlah strategi agar negara-negara non blok agar tidak terjebak dalam ketergantungan tunggal.
Di antaranya yakni diversifikasi keterlibatan internasional, penguatan kapasitas domestik atau investasi dalam penambangan, pemrosesan, hingga penelitian dan pengembangan, dan diplomasi seimbang.
Melalui laporan itu, Connie juga menekankan jika Indonesia dan negara yang tidak tergabung dalam blok atau polar manapun di dunia ini berhasil memanfaatkan peluang dalam BRICS+, mereka dapat memainkan peran lebih besar dalam menyeimbangkan tatanan dunia.
“Potensi menggunakan kartelisasi mineral langka sebagai alat pengaruh geopolitik berarti negara-negara non-blok, secara teori bisa menggeser keseimbangan kekuatan global. Namun yang jelas, mineral langka kini bukan lagi isu perdagangan, melainkan instrumen strategis yang akan menentukan masa depan dunia yang multipolar," tutupnya. (H-2)


















































