Menyeberang Demi Sehat: Potret Tantangan Kesehatan di Kepulauan Riau

4 hours ago 3
 Potret Tantangan Kesehatan di Kepulauan Riau Gubernur Kepulauan Riau, H. Ansar Ahmad, saat memimpin rapat terkait pemenuhan tenaga kesehatan di daerah kepulauan. Pemprov Kepri tengah mencari solusi agar layanan kesehatan, khususnya ketersediaan dokter spesialis, dapat dirasakan merata hingga ke pula( MI/Hendri Kremer)

Malam baru saja turun di perairan Anambas. Angin berembus kencang, mengombang-ambingkan sebuah pompong kecil yang berlayar menuju Tarempa. Di dalamnya, seorang ibu muda berbaring pucat. Usia kandungannya delapan bulan, dan dokter puskesmas di pulau tempatnya tinggal menyarankan agar segera dirujuk ke rumah sakit kabupaten.

Suaminya, sambil memeluk erat, terus mengusap kening istrinya yang dingin. “Bertahanlah, sebentar lagi sampai,” bisiknya. Tapi jarak yang harus ditempuh masih panjang. Gelombang tinggi membuat perjalanan tiga jam terasa seperti seharian.

Sesampainya di Tarempa, harapan itu pupus seketika. Dokter kandungan yang seharusnya bertugas sedang cuti. Pilihan satu-satunya adalah menunggu kapal feri esok pagi untuk menyeberang lagi ke Batam. Di tengah laut dan waktu yang terus berjalan, nasib sang ibu dan bayinya digantungkan pada cuaca.

Kisah pilu ini bukan hal asing di Kepulauan Riau (Kepri). Di provinsi dengan lebih dari 2.400 pulau berpenghuni itu, akses kesehatan sering kali berarti perjuangan panjang.

Rumah Sakit Ada, Dokter Spesialis Tak Selalu Ada
P
emerintah memang sudah membangun rumah sakit di hampir semua kabupaten/kota. Gedung RSUD Natuna berdiri kokoh di Ranai. RSUD Anambas menjadi kebanggaan di Tarempa. RSUD Lingga tampak modern di Daik. Namun, di balik bangunan itu, ada kenyataan pahit: tenaga medis, terutama dokter spesialis, sangat terbatas.

Di Natuna, masyarakat kerap dihadapkan pada keterbatasan layanan spesialis. Seorang pasien kanker hanya bisa ditangani sebatas diagnosa awal. Untuk kemoterapi atau penanganan lanjutan, ia harus dirujuk ke Batam atau Jakarta. Proses rujukan ini bukan perkara mudah: selain ongkos besar, jarak yang ditempuh pun bergantung pada kapal atau pesawat yang bisa dibatalkan sewaktu-waktu karena cuaca buruk.

“Pernah ada pasien jantung darurat, tapi dokter spesialis tidak ada. Akhirnya harus menunggu rujukan. Itu pun pesawat delay karena angin kencang. Kondisi pasien semakin kritis,” kenang Yuliana, seorang perawat di RSUD Natuna.

Secara geografis daerah di Kepri memang unik sekaligus menantang. Jika di Pulau Jawa jarak antar-kota bisa ditempuh dengan mobil dalam hitungan jam, di Kepri jarak antar-pulau bisa berarti perjalanan laut belasan jam. Bahkan dari Tanjungpinang ke Natuna, dibutuhkan penerbangan hampir dua jam.

Bagi warga di pulau kecil, akses ke dokter spesialis bukan sekadar soal kesehatan, tetapi juga soal keberuntungan. Jika cuaca laut bersahabat, perjalanan bisa ditempuh. Jika tidak, semua rencana bisa tertunda.

“Kalau ada keluarga sakit keras, kami selalu berdoa laut tenang. Kalau ombak besar, jangankan ke rumah sakit di Batam, ke puskesmas saja sudah sulit,” ujar Abdul Rahman, warga Pulau Laut, Natuna.

Dokter yang Singgah Sementara
Masalah lain adalah sulitnya mempertahankan dokter spesialis di daerah. Banyak dokter datang karena kontrak atau penempatan sementara. Namun, setelah beberapa tahun, mereka memilih pindah ke daerah dengan fasilitas lebih baik.

Bagi masyarakat, situasi ini menciptakan ketidakpastian. Kehadiran dokter spesialis seperti hadiah singkat yang bisa hilang kapan saja.

“Kadang ada dokter kandungan, tapi sebentar saja. Begitu pindah, kami kembali bingung harus kemana,” keluh Siti, 34, warga Lingga yang pernah harus menyeberang ke Batam saat hendak melahirkan anak keduanya. Fenomena ini menciptakan kesan bahwa dokter di pulau hanyalah “singgah sementara”, bukan benar-benar mengabdi.

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Provinsi Kepri mencoba mencari terobosan. Salah satunya dengan menyiapkan program beasiswa pendidikan dokter spesialis khusus untuk putra-putri asli daerah.

Gubernur Kepri, H. Ansar Ahmad, percaya strategi ini bisa menjadi solusi jangka panjang. “Kami ingin anak-anak Kepri yang kita sekolahkan bisa kembali menjadi dokter spesialis di daerah mereka sendiri. Dengan begitu, mereka akan lebih betah mengabdi, tidak hanya singgah sementara,” ujarnya di Tanjungpinang.

Ansar menilai, anak daerah lebih punya ikatan emosional dengan kampung halamannya. Mereka tahu rasanya tinggal di pulau terpencil, mereka mengerti betapa sulitnya transportasi, dan karena itu lebih sabar dalam menjalani tugas.

Keterbatasan Regulasi dan Insentif
Namun, kebijakan ini tak berjalan mulus. Regulasi nasional saat ini hanya memperbolehkan pemberian beasiswa bagi dokter berstatus PNS, sementara banyak dokter muda di Kepri berstatus PPPK.

“Kondisi ini membatasi jumlah calon penerima beasiswa. Padahal semangat anak-anak daerah sangat besar untuk melanjutkan pendidikan spesialis,” kata Ansar.

Selain itu, masalah insentif juga menjadi batu sandungan. Beberapa kabupaten kesulitan mengalokasikan anggaran tambahan untuk dokter spesialis. Akibatnya, banyak dokter merasa tak dihargai dan memilih pindah.

“Kalau dibandingkan dengan daerah lain, insentif di sini masih jauh. Dokter tentu mempertimbangkan kesejahteraannya,” ujar seorang dokter spesialis penyakit dalam yang pernah bertugas di Karimun.

Bagi masyarakat, keterbatasan ini nyata terasa. Di Anambas, ibu hamil dengan risiko tinggi sering kali harus ke Batam untuk mendapatkan penanganan kandungan. Perjalanan itu bukan hanya melelahkan, tetapi juga penuh risiko.

“Waktu melahirkan anak pertama, saya harus ke Batam. Biayanya besar, belum lagi harus meninggalkan keluarga di kampung. Rasanya seperti berjuang sendiri,” cerita Marlina, warga Anambas.

Di Natuna, pasien dengan penyakit kronis kerap menunda pengobatan karena tidak mampu membayar ongkos perjalanan. “Kalau sekali pergi ke Batam, ongkosnya bisa jutaan. Tidak semua orang sanggup. Banyak yang akhirnya berobat seadanya dengan obat tradisional,” ungkap Rahim, 43, warga Ranai, Kepri.

Mencari Pola Terbaik
Gubernur Kepuluan Riau menyadari, masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah saja. Ia menekankan pentingnya dukungan pemerintah pusat.

“Kami butuh sinkronisasi kebijakan dari Kementerian PANRB, BKN, dan Kementerian Kesehatan. Kalau status ASN bagi dokter tempatan bisa direalisasikan, peluang beasiswa akan lebih luas,” tegasnya.

Ia juga mendorong adanya kebijakan afirmasi untuk daerah kepulauan. Menurutnya, layanan kesehatan di Kepri tidak bisa disamakan dengan daerah daratan. “Di Jawa, jarak antar-kota dekat, dokter banyak. Di sini, antar-pulau jauh, akses sulit. Jadi tidak bisa disamakan. Pemerintah pusat harus melihat kondisi ini,” tambahnya.

Kendati jalan masih panjang, Pemprov Kepri tetap optimistis. Selain beasiswa, pemerintah juga mengkaji pembangunan rumah dinas khusus dokter dan peningkatan fasilitas di RSUD kabupaten/kota. Langkah ini diharapkan bisa membuat tenaga medis merasa dihargai dan mau bertahan. “Kita tidak ingin masyarakat pulau-pulau kecil selalu jadi penonton. Mereka juga berhak mendapat layanan kesehatan berkualitas, sama seperti masyarakat di kota besar,” katanya.

Bagi masyarakat Kepri, hadirnya dokter spesialis bukan sekadar kebutuhan medis, melainkan simbol kehadiran negara. Di tengah gelombang laut yang tak pernah berhenti, harapan itu tetap menyala: bahwa suatu hari, mereka tak perlu lagi menyeberang jauh hanya untuk mendapatkan hak dasar bernama kesehatan. (H-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |