Menulis Ulang Sejarah Indonesia lewat Film Turang

3 hours ago 2
Menulis Ulang Sejarah Indonesia lewat Film Turang Salah satu adegan di film Turang.(Dok. Film Turang)

FILM Turang, yang pertama kali tayang sekitar 67 tahun silam di Festival Film Asia Afrika di Tashkent, Uzbekistan pada 1998 kini kembali dirayakan. Diputar secara kolektif berkeliling dari berbagai komunitas di berbagai kota, oleh ajakan terbuka dari seniman dan peneliti Bunga Siagian, Turang menjadi momentum untuk membaca ulang sejarah sinema Indonesia.

Film yang disutradarai Bachtiar Siagian itu, memenangkan empat Piala Citra FFI 1960. Namun, pasca genosida 1965 dan berlangsungnya rezim Orde Baru Suharto, praktis Turang, bersama ke-12 film Bachtiar Siagian serta banyak film-film dari sutradara kiri lain seperti Basuki Effendy hingga Kotot Sukardi, dimusnahkan.

Turang, menyusul film Violetta, menjadi dua dari total setidaknya ada 13 judul film yang disutradarai Bachtiar Siagian yang kini bisa ditonton. Violetta, ditemukan secara ‘tidak sengaja’ oleh kolektif seniman Forum Lenteng ketika saat itu tengah memproduksi proyek dokumenter tentang sineas Misbach Yusa Biran, di pusat arsip film Indonesia, Sinematek Indonesia.

Sementara Turang, ditemukan nun jauh di Moskow, Rusia melalui ‘penelusuran’ bertahun-tahun oleh Bunga Siagian bersama banyak jejaring seniman lintas dunia. Turang kemudian diputar lagi untuk pertama kali di International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025, berlanjut dengan diputar secara keliling di Indonesia pada 19–30 April, bertepatan dengan momentum tanggal yang sama dari Festival Film Asia Afrika 1964 di Indonesia.

Di dalam film Turang, Bachtiar menggambarkan tentang perjuangan revolusi yang dilakukan oleh para warga di tanah Karo. Mereka secara kolektif mengusir Belanda dan kolonialisme dengan daya yang mereka miliki. Secara bergerilya, melawan kekuatan kolonialisme. Di film tersebut, yang Media Indonesia tonton di Metro Cinema Kemang pada 26 April, yang menjadi rangkaian pemutaran keliling Turang, juga memperlihatkan bagaimana kolonialisme membumihanguskan sebuah desa, yang berakibat pada pemusnahan manusia dan kehidupannya. Hal ini, juga mengingatkan pada peristiwa yang terjadi di Palestina saat ini.

“Dalam konteks global tentu saja ini sebuah respons terhadap apa yang terjadi di Palestina mengenai tindakan kolonialisme, imperialisme. Struktur yang sama yang memang dilawan sama orang-orang kiri pada saat itu. Dan memang menjadi semangat Bandung juga kan (dalam konteks Konferensi Asia Afrika–KAA). Semangat Bandung kan itu, anti-kolonial, anti-imperialis. Dan mirisnya 70 tahun kemudian, kita masih menghadapi struktur yang sama. Kalau kita tahu strukturnya masih ada, kenapa struktur solidaritasnya hilang? Itu kan pertanyaan besarnya?” Jelas Bunga Siagian yang menggagas ajakan terbuka menonton film Turang pada medio 19–30 April, saat dihubungi Media Indonesia, Jumat, (16/5).

Turang ‘dimunculkan kembali’ dalam rangka mengunjungi nilai-nilai solidaritas yang diusung sebagai kekuatan kolektif region Asia Afrika era 60, yang masa itu semangatnya adalah melawan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme Barat. Bagi Bunga, dengan menghadirkan Turang juga menjadi upaya untuk menulis ulang sejarah.

Secara sadar, ketika film Turang bisa dipresentasikan ke publik, alih-alih memutarnya di gedung bioskop komersial atau melakukan pemutaran bersama para pejabat pemerintahan, Bunga memilih untuk mengedarkannya secara terdesentralisasi, menonton bersama komunitas disertai diskusi.

“Ada upaya menulis ulang sejarah. Kuratorial seperti ini, adalah intervensi dari masyarakat sipil, untuk kemudian kita membicarakan kembali sejarah. Bagaimana selama ini ditulis, dari perspektif siapa. Bukan saja sejarah film, tetapi juga secara umum. Aku merasa Turang penting untuk hadir lagi di tengah-tengah kita untuk mengisi imajinasi kita tentang peran masyarakat, dan ingatan-ingatan kita, yang selama ini ketika menonton film-film tentang dekolonisasi, itu semua narasinya tentara,” jelas Bunga.

Hingga saat ini, ketika kerja-kerja seni dan budaya dalam merevitalisasi sejarah seperti arsip film yang menjadi bagian penting perjalanan bangsa Indonesia dilakukan secara individu dan kolektif masyarakat, Bunga menunggu respons pemerintah dan negara. Menurutnya, saat ini seperti tak ada urgensi dari pemerintah untuk ikut andil dalam pengembalian aset penting seni kita.

“Harusnya negara bisa campur tangan. Karena kan materi seluloid (film Turang) masih di Moskow. Yang kemarin kami dapat itu kan digitalnya. Tapi sampai saat ini tidak ada yang mendatangi untuk bertanya apa yang bisa pemerintah dan negara lakukan (untuk mengembalikan arsip seluloid film Turang,” ungkap Bunga.

Menurut Bunga, jika merujuk pada konsep dan cita-cita pemajuan kebudayaan, ketika terjadi pengabaian oleh negara terhadap warisan sejarah dan kebudayaan Indonesia seperti arsip seluloid film Turang, menjadi tidak benar. Harusnya, ada upaya dari negara untuk ikut andil dalam upaya pengembalian warisan tersebut, termasuk mendanai proses administratif saat mendapatkan materi salinan digital film Turang.

Sebab, Turang juga menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai pemenang 4 Piala Citra FFI 1960, juga ditayangkan di Festival Film Asia Afrika di Tashkent, Uzbekistan pada 1958. Hal ini, sebenarnya tak ubahnya seperti ketika pemerintah di periode sebelumnya melakukan repatriasi benda-benda bersejarah dan budaya Indonesia dari Belanda.

Padahal, dari Turang, juga Bachtiar Siagian, kita juga bisa mempelajari tentang suatu periode ketika para sineas kita menjadi bagian dari solidaritas pergerakan global. Turang, juga menjadi simbol yang membawa semangat Bandung, yang juga menjadi semangat Konferensi Asia Afrika yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.

“Yang perlu kita pelajari pada hari ini adalah bahwa kita pernah ada di periode itu. Periode yang dihilangkan oleh Orde Baru. Orde Baru tidak hanya menghilangkan individu, tapi yang paling fatal dari itu adalah menghilangkan satu generasi. Satu periode emas di mana Indonesia berpartisipasi pada gerakan solidaritas global. Ingatan kita soal itu yang ingin kubagikan kembali,” tutup Bunga. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |