Menteri Keuangan Dalami Cukai Rokok, Pengamat Ingatkan Risiko Rokok Ilegal

2 hours ago 1
Menteri Keuangan Dalami Cukai Rokok, Pengamat Ingatkan Risiko Rokok Ilegal Ilustrasi(ANTARA/ARI BOWO SUCIPTO)

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang menurutnya sudah berada pada level terlalu tinggi. Ia menilai beban tarif yang berlaku saat ini tidak hanya menekan industri tembakau, tetapi juga memengaruhi ekosistem yang ada di sekitarnya, termasuk kontribusi setoran cukai terhadap penerimaan negara.

“Ada cara mengambil kebijakan yang agak aneh untuk saya. Saya tanya kan, cukai rokok gimana, sekarang berapa? rata-rata 57%, tinggi amat, banyak banget," kata Purbaya.

Ia menambahkan, situasi yang ia dapati cukup janggal. Berdasarkan informasi yang diterimanya, justru ketika tarif cukai diturunkan, penerimaan negara bisa meningkat. “Kalau turun makin banyak income-nya. Lho, kenapa dinaikin kalau gitu? Rupanya kebijakan itu bukan hanya income saja di belakangnya, ada policy memang untuk mengecilkan konsumsi rokok," ujarnya.

Purbaya juga menekankan bahwa kebijakan fiskal harus mempertimbangkan aspek ketenagakerjaan. Menurutnya, lonjakan tarif CHT berpotensi menekan industri hasil tembakau (IHT) dan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. “Selama kita enggak bisa punya program yang bisa menyerap tenaga kerja yang nganggur, industri itu enggak boleh dibunuh,” ujarnya. 

Ia mengatakan bahwa arah kebijakan pasti CHT akan bergantung pada hasil studi dan analisis lapangan yang saat ini sedang berlangsung. “Tergantung hasil studi dan analisa yang kita dapat dari lapangan,” katanya.

Sementara itu, maraknya peredaran rokok ilegal menjadi perhatian serius kalangan ekonom. Wijayanto Samirin, ekonom senior dan dewan pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), mengingatkan bahwa tarif cukai yang terlalu tinggi justru dapat mendorong pertumbuhan pasar rokok ilegal yang tidak menggunakan pita cukai resmi.

“Cukai yang tinggi membuat bisnis rokok ilegal makin menguntungkan. Perkiraan saya, dari rokok ilegal saja, pemerintah kehilangan potensi penerimaan negara sebesar Rp15–25 triliun per tahun,” ungkap Wijayanto.

Ia menekankan bahwa solusi tidak hanya terletak pada besaran tarif cukai, tetapi juga pada penegakan hukum yang tegas dan konsisten. “Semakin tinggi cukai, semakin menarik bagi bisnis rokok ilegal. Kendatipun demikian, menurut saya kuncinya bukan di nilai cukai, tetapi penegakan hukum dan penindakan para pebisnis rokok ilegal,” tegasnya.

Menanggapi tekanan yang dihadapi IHT, Wijayanto juga mendorong perlunya moratorium atau penundaan kenaikan tarif cukai sebagai langkah sementara. Namun, ia menekankan pentingnya penyusunan kebijakan yang lebih komprehensif dan berbasis pendekatan teknokratis.

“Moratorium untuk langkah sementara, namun perlu disusun kebijakan komprehensif dengan pendekatan teknokratis yang solid dan diterapkan secara gradual. Berbagai kepentingan dan dampak harus diperhitungkan secara matang,” ujarnya.

Dari sisi legislatif, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menyoroti pentingnya peran Menteri Keuangan Purbaya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif. Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya dilihat dari angka statistik, tetapi harus berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja.

“Kita ingin, Menkeu (Menteri Keuangan) Purbaya bisa mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi berkualitas. Di mana tiap persen pertumbuhan ekonomi membuka lapangan kerja untuk 950.000 pekerja. Ini penting untuk menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran,” ujar Kamrussamad.

Di tengah tekanan kebijakan fiskal, berbagai kalangan mengingatkan bahwa IHT tidak boleh terus-menerus dibebani. Industri ini menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kebijakan cukai ke depan diharapkan tidak mengorbankan kelangsungan usaha dan kesejahteraan jutaan pekerja yang menggantungkan hidup pada sektor ini.(H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |