
MENTERI Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menjelaskan usulannya untuk membuat ruang khusus untuk demonstrasi bukan merupakan hal baru karena banyak juga dipraktekan di beberapa negara. Natalius menyebut beberapa negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Korea Selatan.
“Sebenarnya ruang demonstrasi semacam ini bukanlah hal baru, namun sudah dipraktikkan beberapa negara seperti Jerman, Inggris, Amerika, Singapura dan Korea Selatan,” ujar Pigai kepada wartawan, Sabtu (14/9).
Dijelaskan Pigai Jerman misalnya menyediakan alun-alun publik di Berlin untuk aksi besar dengan pemberitahuan resmi. Sedangkan Inggris mengatur demonstrasi di Parliament Square dengan izin khusus. Singapura menyediakan ruang demonstrasi di Speakers’Corner Hong Lim Park. Sementara di Amerika Serikat terdapat free speech zones dalam acara politik besar.
Hal Berbeda lanjut Pigai dengan Korea Selatan, yang melarang aksi dekat istana, parlemen, dan pengadilan, tetapi memfasilitasi aksi besar di ruang publik ikonik seperti Gwanghwamun Square.
Menteri HAM, NataliusPigai, menambahkan pula bahwa gagasan penyediaan ruang demonstrasi di halaman Gedung DPR-RI merupakan langkah strategis untuk memperkuat praktik demokrasi substantif: aspirasi masyarakat tersalurkan, ketertiban publik terjaga, dan simbol kedaulatan hadir di jantung parlemen.
“Masyarakat berhak menyampaikan pendapat secara damai. Negara bukan hanya menghormati, tetapi juga berkewajiban memastikan ruang itu ada. Menyediakan ruang demonstrasi di halaman DPR adalah pilihan strategis yang perlu dipertimbangkan serius, karena akan mempertemukan masyarakat dengan lembaga yang mewakili mereka,” ujarnya.
Bahkan dalam pengalaman sebelumnya, Gagasan semacam Ruang Demonstrasi ini jugas sudah pernah diusulkan oleh DPR-RI dalam Rencana Strategis DPR 2015–2019 dengan menyebut pembangunan Alun-alun Demokrasi.
Diketahui pada saat itu Alun-alun demokrasi diusulkan dibangun di sisi kiri kompleks DPR,menempati area Taman Rusa, lapangan futsal, dan parkir. Rencana ini didesain untuk menampung ±10.000 orang,dengan fasilitas panggung orasi permanen, pengeras suara, jalur evakuasi, dan akses aman. Peresmian simbolispernah dilakukan pada 21 Mei 2015, tetapi proyek ini tidakberlanjut.
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta pada 2016 membangunTaman Aspirasi di Plaza Barat Laut Monas, seluas ±1.000m², dengan fasilitas taman terbuka, mural, dan ruangekspresi publik. Namun, ruang ini lebih bersifat simbolikdan tidak difungsikan sebagai lokasi demonstrasi resmiyang diakui hukum.
Bagi Natalius, menyediakan ruang khusus untuk demonstrasi didukung oleh beberapa hal positif antara lain menjadi simbol demokrasi yang autentik karena halaman DPR mencerminkan kedaulatan masyarakat. Bukan hanya itu adanya ruang tersebut membuat Kedekatan dengan target aspirasi karena aspirasi bisa langsung sampai ke lembaga representatif. “Aspek lain adalah Mengurangi beban lalu lintas karena massa tidak lagi memblokir jalan utama. Termasuk juga Keamanan dan ketertiban menjadi lebih terukur dan terkendali,” jelasnya.
Dia tambahkan pula, adanya ruang demonstrasi, maka akan ada budaya dialog langsung yang memudahkan DPR menjumpai masyarakat dan yang paling penting lagi demonstrasi tidak lagi distigma negatif karena dianggap hal yang mengganggu.
Karena itu, menurut dia usulan ruang demokrasi di halaman DPR tidak boleh dimaknai sebagai upaya membatasi demonstrasi hanya di sana, melainkan sebagai penambahan ruang resmi yang representatif, aman, dan simbolis. Dengan cara ini, kata dia Indonesia menghindari jebakan regulasi yang mengekang kebebasan, dan justru memperluas fasilitasi demokrasi dalam bentuk paling substantif. (Cah/P-3)