
KASUS dugaan penipuan tanah yang dialami Mbah Tupon di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), belakangan ini viral. Kementerian Agraria/ Badan Pertanahan Nasional pun telah menangani kasus tersebut.
Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyatakan pihaknya telah memblokir sertifikat tanah yang dipermasalahkan tersebut tersebut.
Langkah berikutnya, upaya mediasi dilakukan dengan memanggil pihak yang mengambil tanah tersebut agar mengembalikan hak milik Mbah Tupon.
Nusron juga mengatakan, pihaknya akan memproses balik nama karena ada tanda tangan asli.
"Kami tidak mungkin tahu apakah tanda tangan itu hasil penipuan atau tidak, kecuali terbukti ada rekayasa yang melibatkan pegawai BPN,” jelas dia di Bantul, Sabtu (10/5).
Ia juga menilai, kasus pertanahan yang dialami oleh Mbah Tupon di Kasihan, Kabupaten Bantul belum bisa dikategorikan akibat mafia tanah.
“Ini kemungkinan penipuan biasa. Nilai ekonominya kecil, tidak ada sindikat besar, tidak seperti mafia tanah yang bermain," terang dia.
Nusron menyebut, sebuah kasus baru bisa disebut mafia tanah apabila lahannya mencapai ratusan atau ribuan hektar dengan nilai triliunan rupiah
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih mengatakan, kasus dugaan penipuan sertifikat tanah belakangan mulai banyak bermunculan di Bantul. Kasus-kasus tersebut perlu segera ditangani dan dicegah agar tidak terulang.
"Harus ada sosialisasi masif agar masyarakat tahu cara-cara penipuan (tanah) seperti ini,” jelas Halim.
Bagaimana Kronologinya?
Sebelumnya, kasus ini bermula dari Mbah Tupon yang memiliki tanah seluas 2.100 meter persegi. Ia berniat menjual sebagian tanahnya seluas 298 meter persegi yang kemudian dibeli BR pada 2020.
Namun, karena tak punya akses jalan, Tupon kemudian memberikan tanah seluas 90 meter persegi. "Terus sama ngasih RT untuk dibikin gudang RT seluas 54 meter persegi. Terus dipecah," jelas putra sulung Tupon, Heri Setiawan, 31.
Dia menyebutkan tanah seluas nyaris 300 meter persegi itu dijual seharga Rp1 juta per meter. Namun pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur tanpa waktu jatuh tempo dan tanpa perjanjian nilai cicilan.
Hingga akhirnya BR, yang masih kurang bayar Rp35 juta ke Mbah Tupon, menawarkan untuk memecah sertifikat tanah Tupon seluas 1.655 meter persegi sesuai dengan nama ketiga anaknya. Disebutkan, BR berjanji bakal menanggung biaya pecah sertifikat dari hasil kurang bayar tersebut.
"Ditawari mau dipecah jadi empat, buat bapak dan ketiga anaknya, yang 1.655 meter itu. Pak BR yang nawari mecah," ujar Heri.
Heri menyebutkan, berbulan-bulan tanpa kejelasan, pihaknya kaget saat didatangi petugas bank pada Maret 2024. Kala itu, petugas bank mengatakan tanah yang sedianya hendak dipecah sertifikat itu justru menjadi agunan bank senilai Rp1,5 miliar.
"Cuma ngasih tahu sertifikat sudah dibalik lama, bank ke sini itu sudah pelelangan pertama. Dia bilang mau ke sini lagi mau ngukur ulang," paparnya.
Heri pun kaget saat mengetahui sertifikat tanah itu sudah atas nama Indah Fatmawati. Dia mengaku tidak mengenal yang bersangkutan.
"Harusnya dipecah, yang terjadi malah balik nama, atas nama Indah Fatmawati. Nggak tahu, saya (orangnya) enggak kenal sama sekali, enggak pernah ketemu," imbuhnya.
Keluarga Mbah Tupon pun melaporkan kasus balik nama tanah tanpa izin ini ke Polda DIY. (AT/E-4)