Mahasiswa Politeknik Batam beraktivitas di Tibelat Farm, Sei Temiang. Lokasi ini menjadi pusat edukasi budidaya ikan air tawar dan pertanian terpadu yang didukung pemerintah daerah.(MI/HENDRI KREMER)
DI tengah hiruk-pikuk pembangunan Kota Batam yang tak pernah berhenti, ada sebidang lahan seluas 1,5 hektar di kawasan Sei Temiang, Tanjung Riau, Kota Batam, yang tetap hijau dan tenang. Di sanalah Tibelat Farm berdiri, sebuah tempat sederhana yang tumbuh menjadi simbol ketahanan pangan lokal.
Suara gemericik air dari belasan kolam ikan berpadu dengan semerbak tanah basah. Ikan lele, nila, dan mas berenang lincah di antara jaring-jaring pembibitan. Tak jauh dari situ, ribuan batang cabai dan berbagai pohon buah menambah warna di lahan yang telah menjadi rumah bagi banyak harapan.
Bagi Ray Sandy Stefan, 46, sang pendiri dan pembina, Tibelat Farm bukan sekadar usaha tani. Sejak dirintis tahun 2003, tempat ini ia jadikan sebagai ruang belajar bagi siapa saja yang ingin memahami arti pangan dari dekat.
“Kami ingin masyarakat bisa mandiri. Tidak hanya tahu cara memelihara ikan, tapi juga bagaimana memanfaatkan hasilnya untuk ekonomi keluarga,” tutur Ray dengan nada penuh keyakinan.
Filosofinya sederhana, berbagi ilmu tanpa pamrih. Di sini, siapa pun boleh datang belajar budidaya ikan air tawar tanpa biaya. Bahkan, farm ini sering kedatangan rombongan pelajar, mahasiswa, hingga para pensiunan yang mencari kegiatan produktif.
Selain menyediakan pelatihan gratis, dia juga memberikan potongan harga hingga 50 persen untuk benih ikan, serta membuka peluang bagi masyarakat menjual hasil panennya kembali ke Tibelat Farm dengan harga pasar.
“Kami tidak ingin hanya menjual bibit, tapi juga memastikan hasil panen mereka punya pasar. Dengan begitu, semangat untuk bertani tidak padam,” ujarnya.
Langkah ini terbukti berhasil. Pasokan benih ikan dari Tibelat Farm kini telah menjangkau wilayah Bintan dan Lingga, dan ke depan diharapkan bisa memperkuat rantai pasok pangan di seluruh Kepulauan Riau.
Menjadi Ruang Hidup dan Harapan
Lebih dari sekadar tempat budidaya, Tibelat Farm dikembangkan menjadi kawasan agrowisata edukatif. Pengunjung bisa belajar, memancing, bahkan memasak hasil tangkapan mereka langsung di lokasi. Suasana alami yang dikelilingi pepohonan membuatnya cocok untuk kegiatan keluarga maupun pelatihan komunitas.
Namun, dia tak menutupi kekhawatirannya terhadap pesatnya pembangunan di Batam. “Saya khawatir kalau lahan ini suatu saat tergusur. Padahal manfaatnya besar bagi masyarakat, banyak yang datang belajar, bahkan dari luar kota,” ucapnya.
Baginya, mempertahankan lahan ini berarti mempertahankan ruang belajar dan ruang hidup. Sebab di sini, ketahanan pangan bukan sekadar konsep, tapi praktik nyata yang memberi dampak langsung.
Inisiatif ini belakangan mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk kalangan jurnalis dan organisasi masyarakat yang melihatnya sebagai contoh nyata kolaborasi lokal dalam mendukung program ketahanan pangan nasional.
Melalui kerja sama, diharapkan model pemberdayaan seperti ini bisa diperluas ke daerah lain, menjadi inspirasi bahwa ketahanan pangan bisa dimulai dari kolam kecil, dari tangan-tangan yang mau berbagi.
Menanggapi itu, Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, mengapreasiasi inisiatif yang dilakukan para pengelola Tibelat Farm. Menurutnya, upaya seperti ini sejalan dengan visi Batam sebagai kota industri yang tetap memperhatikan keberlanjutan sektor pangan dan lingkungan.
“Ini adalah contoh baik bahwa pembangunan tidak harus selalu tentang beton dan baja. Ada pembangunan yang tumbuh dari tanah, dari air, dan dari semangat masyarakat yang ingin mandiri,” ujar Amsakar.
Ia menegaskan, pemerintah akan terus mendukung inisiatif berbasis komunitas yang memiliki dampak sosial dan ekonomi nyata. “Kami ingin gerakan ketahanan pangan tumbuh dari bawah. Jika semua wilayah punya satu Tibelat Farm, saya yakin Batam akan jauh lebih kuat secara pangan dan sosial,” tambahnya. (H-2)


















































