(Dokpri)
HARI-HARI ini Jiwa-Jiwa Mati atau Dead Souls karya penulis besar Nikolay Vasilievich Gogol agaknya layak dibaca kembali. Untuk menjadi cermin kita. Cermin para pemimpin, mereka para empunya kuasa. Ini memang kritik Gogol terhadap Kekaisaran Rusia abad 19 tentang kebangkrutan moral, kemunafikan, keserakahan, dan materialisme aristokrasi. Tapi bukankah hal buruk serupa itu juga wajah kita kini?
Karya Gogol ini pertama kali terbit pada 1842, mengisahkan akal licik pegawai ambisius bernama Pavel Ivanovich Chichikov. Ia mendapatkan kekayaan dari hasil manipulasi dan korupsi. Tujuan hidup Chichikov memang hanya menjadi kaya-raya meski dengan cara kotor. Sebab berlimpah harta baginya adalah bergelimang kehormatan. Bergelimang kehormatan artinya menjadi tuan. Menjadi tuan berarti bisa mengedalikan para liyan.
Tapi cara yang ia tempuh untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan di luar kelaziman. Ia membeli daftar orang-orang yang telah mati di sebuah provinsi, yakni para petani kecil dan para budak, tetapi masih terdaftar dalam catatan sensus. Dengan ribuan orang mati yang masih terdaftar itu dijadikan jaminan pinjaman bank. Chichikov pun bergelimang uang. Uang itu ia belikan tanah luas dari para pemilik lahan.
Tersiarlah kabar ia sebagai orang kaya di provinsi itu. Masyarakat pun sangat hormat pada sang bangsawan kaya baru ini. Begitulah! Ia dihormati karena hartanya yang berlimpah meski dengan cara durjana. Bukan karena dalamnya ilmu dan hidupnya yang tawadhu. Sudah menjadi fenomena di berbagai belahan dunia, manusia tanpa empati dan jiwanya berkabut ketamakan, ia akan tampil dengan kelicikan.
Memang Jiwa-Jiwa Mati cerita dari geografi yang jauh dan jarak waktu yang terentang di belakang hampir dua abad. Tetapi, pesan pengarang Rusia itu sesuatu yang amat dekat dengan kita hari-hari ini. Negeri yang para elitenya tengah meneguhkan 'kehormatan' dengan bergelimang harta hasil korupsi yang ugal-ugalan. Sementara puluhan 24 juta rakyat, menurut BPS, berkubang dalam lumpur kemelaratan. Versi Bank Dunia lebih menyedihkan lagi, 171 juta manusia Indonesia berkubang dalam kemiskinan.
Di negeri ini jiwa-jiwa mati bisa juga punya arti dengan spektrum yang lebih luas. Bisa mengacu pada para pemimpin yang hidup tapi jiwanya mati, maka suka-suka melakukan korupsi. Jiwa-jiwa mati juga bisa seperti ditulis Gogol meski dalam bentuk lain, yakni para politisi membeli suara orang-orang tak berdaya (seolah-olah orang mati). Setelah berkuasa mereka kapitalisasi jabatan demi menumpuk kekayaan.
Kini hampir tak ada institusi negara di Republik ini yang tak terjamah korupsi. Menurut politisi PPP Muhammad Romahurmuziy, 99% pejabat kita korup. Hanya derajat korupsinya saja yang berbeda-beda. Juga modus operandinya, ketahuan atau tidak, dan bisa dibuktikan di pengadilan atau tidak. Untuk membuktikan kesimpulan sang politisi yang juga pernah terjerat korupsi ini, sesungguhnya mudah belaka.
Jika 'jalur langit' saja (baca: urusan agama) sudah dirambah korupsi, bisa dibayangkan di jalur-jalur lain. Bahkan, dua menteri agama negeri ini telah menjadi orang rantai. Satu mantan lagi juga telah bolak-balik ke KPK karena ada dugaan rasuah dalam urusan kuota haji. Pernah di suatu masa Kementerian Agama juga tercatat sebagai institusi terkorup.
Merapuh bersama
Filsuf Prancis, Montesquieu, dalam buku L'esprit des lois (The Spirit of Laws) yang terbit pada tahun 1748, mengembangkan Trias Politika yang sebelumnya digagas filsuf Inggris, John Locke. Yakni tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuannya mencegah kekuasaan absolut dan menciptakan sistem yang saling mengawasi (check and balances). Agar sebuah pemerintahan punya marwah dan wibawa demi memakmurkan rakyatnya. Namun, di negeri ini, tiga cabang kekuasaan merapuh bersama.
Sudah tak terbilang jajaran eksekutif dari berbagai tingkatan masuk bui karena rasuah. Sudah terlalu banyak gerombolan legislatif masuk penjara karena korupsi. Diakui oleh politisi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, sebagai anggota DPR sulit mendapatkan uang halal. Seolah tak mau kalah, kalangan yudikatif yang seharusnya menjadi pengadil paling depan justru banyak menjadi narapidana kasus korupsi.
Ketika seluruh pilar kekuasaan merapuh pertanyaan mendasarnya, apakah negeri ini masih bisa berdiri kokoh? Kenapa mereka yang menjadi representasi negara justru menghancurkan negara? Padahal, mereka telah bergelimang fasilitas dari negara. Apakah mereka tak paham ayat-ayat konstitusi yang mestinya menjadi pegangan kunci? Yang pasti mereka adalah orang-orang hidup tapi 'jiwanya mati'. Mati akan tanggung jawabnya.
Sama juga pertanyaan kenapa mereka yang disumpah atas nama Tuhan justru mengkhianati Tuhan? Sederhana saja jawabnya, karena menganggap remeh keagungan Tuhan dan sumpah yang diucapkan. Terbukti apa yang dilisankan jauh dengan apa yang diamalkan dalam tindakan.
Guru besar Universitas Pertahanan mendiang Salim Said, beberapa tahun lalu, dengan nada geram pernah pula berucap, “Indonesia tidak akan maju karena tidak ada yang ditakuti, termasuk tidak takut pada Tuhan,” katanya. “Nah…semua yang masuk KPK, pejabat parlemen, eksekutif itu disumpah secara agama. Tetapi kemudian melanggar sumpah, karena tidak takut pada Tuhan," kata Salim.
Demonstrasi besar-besaran Agustus-September di 107 titik yang tersebar di 32 provinsi adalah kritik serius terhadap perilaku elite yang kerap pamer kemewahan dengan fasilitas melimpah. Laku mereka, termasuk anggota DPR, dinilai di luar batas kepantasan sebagai pejabat negara.
Berbagai tuntutan selama demonstrasi yang kemudian dirumuskan oleh warganet menjadi tuntutan 17+8, kini justru makin meredup. Bahkan terasa masuk angin. Presiden Prabowo Subanto memang berkali-kali menegaskan dalam memberantas korupsi ia tidak pandang bulu siapa pun backing-nya. Ia tidak akan mundur selangkah pun dalam menghadapi koruptor. Dalam soal perang melawan korupsi ia menyatakan siap mati demi rakyat.
Prabowo akan bikin penjara yang kokoh di suatu tempat terpencil entah di mana yang tidak memungkinkan pelaku korupsi lari. Ketika kampanye sebagai calon presiden Prabowo telah pula berjanji tentang hasratnya memberantas korupsi. Kini setelah jadi presiden, seperti ingin menegaskan kembali komitmennya, ia mengulangi janjinya berkali-kali. Seakan janji yang dulu kurang bertaji.
Harapan pada Prabowo
Prabowo begitu sering bicara perang melawan korupsi, tapi kita belum melihat strategi dan langkah konkret apa yang akan ditempuh. Sementara, angka-angka kekayaan negara yang dikorupsi kian tinggi jumlahnya. Tidak saja skalanya yang kian meluas tetapi besarannya yang kian fantastis. Sebut saja megakorupsi di PT Timah sebesar Rp300 triliun, di PT Pertamina Rp285 triliun, dan PT Asabri Rp23,7 triliun. Itu hanya di tiga institusi yang bernaung di bawah BUMN.
Bisa dibayangkan, jika korupsi diakumulasi di seluruh institusi, pasti jumlahnya amatlah fantastis. Jika 99 pejabat negara korupsi, negeri ini amat layak disebut darurat korupsi. Negara pun membutuhkan pendekatan komprehensif, tegas, dan sistematis. Strateginya mencakup langkah-langkah darurat, reformasi jangka menengah, dan reformasi jangka panjang. Kita butuh penegak hukum yang tegas dan berwibawa serta peran aktif masyarakat.
Presiden Prabowo punya segalanya: ketua umum partai politik, kepala pemerintahan, dan kepala negara. Jika mau ditambah di luar itu: ia jenderal Angkatan Darat dan anak begawan ekonomi kelas dunia yang keras pada korupsi, Sumitro Djojohadikusumo. Jika mau ditambah lagi, ia presiden dengan kekayaan lebih dari Rp2 triliun.
Itu semua modal yang tak dimiliki para pendahulunya. Modal amat berharga untuk perang total terhadap korupsi yang sudah amat merusak sendi-sendi kehidupan. Korupsi tak hanya membuat kemelaratan tetapi juga bisa 'mewariskan' generasi jalan pintas dan pembohong. Jika Prabowo benar-benar serius memberantas korupsi, ia bisa dengan contoh aksi politik bersih yang dimulai Partai Gerindra, yang kadernya ada di legislatif dan legislatif.
Kita tentu tetap menunggu. Karena satu-satunya yang tersisa bagi kita adalah harapan. Dan kita menguat-nguatkan harapan itu. Padahal, satu tahun pemerintahan Prabowo mestinya lebih dari cukup untuk persiapan perang total melawan korupsi. Tapi, jujur, belum ada langkah-langkah yang benar-benar meyakinkan kita bahwa ia serius. Prabowo baru sebatas repetisi ucapan pemberantasan korupsi.
Performa Presiden Prabowo di Majelis Umum PBB, September lalu, banyak mendapat apresiasi. Tapi kehebatan 'panggung depan' tak ada artinya jika 'paggung dalam' tak diurus serius. Setelah tampil di PBB seharusnya kurangi tampil di 'panggung depan'. Jangan justru ketagihan. Karena, jujur saja, 'panggung dalam' sesungguhnya terancam roboh karena seluruh pilarnya merapuh. Publik berharap Prabowo benar-benar mampu menghidupkan 'jiwa-jiwa mati' yang melumpuhkan kita.


















































