(Dokpri)
SATU tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah memberi gambaran awal tentang arah baru kebijakan keamanan nasional Indonesia. Dari sekian banyak bidang yang menjadi perhatian publik, program kontraterorisme layak mendapat sorotan tersendiri.
Di tengah suasana global yang masih dipenuhi ketegangan ideologis dan ketidakpastian ekonomi, Indonesia justru menapaki jalur relatif tenang. Sebuah capaian yang tak muncul begitu saja melainkan lahir dari kombinasi antara ketegasan negara dan pendekatan kemanusiaan yang mulai dikedepankan.
Komitmen kuat
Sejak awal masa pemerintahannya, Prabowo menunjukkan komitmen kuat menjaga Indonesia dari ancaman ekstremisme. Komitmen itu tidak hadir dalam bentuk retorika tetapi terlihat dari konsistensi kebijakan yang menyeimbangkan pendekatan keamanan dengan pendekatan sosial. Bagi mantan jenderal ini, keamanan bukan hanya urusan tentara dan polisi tetapi juga urusan manusia, bagaimana negara menciptakan rasa aman tanpa menakutkan warganya sendiri.
Pendekatan semacam ini menandai pergeseran penting dari paradigma lama. Jika dulu kontra-terorisme sering dipahami sebatas penindakan terhadap pelaku dan jaringan, kini pemerintah mulai menekankan pentingnya pencegahan dan rehabilitasi. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tetap menjadi garda depan tetapi orientasinya kian luas. Penegakan hukum berjalan tegas, namun di saat yang sama, program deradikalisasi terus diperkuat dengan melibatkan komunitas sipil, tokoh agama, dan lembaga pendidikan.
Hasilnya mulai terlihat. Dalam satu tahun terakhir, Indonesia relatif aman dari serangan teror besar. Aktivitas kelompok jaringan lama seperti ISIS berhasil dipersempit ruang geraknya, sementara eks narapidana terorisme di sejumlah daerah mulai kembali diterima masyarakat. Beberapa di antara mereka bahkan kini menjadi bagian dari program edukasi dan pencegahan, berbagi pengalaman untuk menyadarkan generasi muda agar tidak terjebak dalam jebakan ideologis yang menyesatkan.
Namun, capaian yang paling menarik justru terletak pada cara pemerintah menata ulang komunikasi publik dalam isu ini. Narasi kontra-terorisme tidak lagi dibangun di atas ketakutan, tetapi di atas kesadaran bersama tentang pentingnya keamanan warga negara. Pemerintah tampak berupaya memulihkan kepercayaan masyarakat bahwa negara tidak sedang memata-matai keyakinan melainkan menjaga ruang publik agar tetap aman bagi semua.
Sebagai jamaah Nahdlatul Ulama, saya melihat arah ini selaras dengan nilai-nilai dasar NU: tawasuth, tasamuh, dan tawazun (moderasi, toleransi, dan keseimbangan). NU sejak awal berdirinya memahami bahwa ekstremisme bukan hanya ancaman bagi negara tetapi juga bagi martabat Islam. Sebab kekerasan yang mengatasnamakan agama selalu berakhir dengan merusak wajah agama.
Dalam konteks ini, peran pesantren dan jaringan NU menjadi sangat penting. Pesantren bukan hanya tempat belajar agama tetapi juga sekolah kebangsaan, ruang pembentukan watak dan cinta tanah air. Di pesantrenlah generasi muda Muslim belajar menjadi saleh tidak berarti memusuhi yang berbeda, dan mencintai agama tidak berarti menolak perbedaan. Nilai-nilai semacam inilah yang sesungguhnya menjadi tembok ideologis paling kokoh melawan ekstremisme.
Pekerjaan belum selesai
Satu tahun pemerintahan Prabowo menunjukkan, bahwa arah baru itu mungkin untuk diwujudkan. Kontra-terorisme di Indonesia kini tidak lagi berwajah keras dan menakutkan, tetapi bertransformasi lebih manusiawi dan penuh empati. Namun, pekerjaan belum selesai. Tantangan ideologis di era digital, polarisasi sosial, dan munculnya kembali narasi intoleransi di media sosial menuntut strategi lebih cerdas dan berakar.
Sebagai contoh, dalam beberapa waktu terakhir rakyat Indonesia menyaksikan gelombang serangan opini terhadap pesantren dan Nahdlatul Ulama. Berbagai narasi yang menstigma pesantren sebagai lembaga feodal, tidak profesional, bukan sekadar perdebatan biasa di ruang publik dan ruang maya. Fenomena ini tampak seperti bagian dari operasi ideologis yang lebih besar. Upaya sistematis kelompok ekstremis untuk melemahkan posisi dan peran NU sebagai benteng utama Islam moderat di Indonesia.
Dengan cara menebar kecurigaan terhadap pesantren, mereka berusaha merusak kepercayaan publik terhadap lembaga yang selama ini menjadi penjaga nilai-nilai moderasi, benteng ekstremisme, penjaga kebangsaan, sekaligus benteng ideologis melawan radikalisme. Jika serangan semacam ini dibiarkan, maka yang hancur bukan hanya reputasi NU, melainkan juga daya tahan bangsa terhadap ekstremisme yang kini bergerak lebih halus melalui disinformasi dan perang opini.
Negara perlu melihat gejala ini dengan baik. Menggandeng kembali pesantren sebagai mitra strategis bukan sekadar kebutuhan, tetapi kewajiban. Sebab, dalam konteks kontraterorisme yang diperangi sesungguhnya bukan hanya jaringan teror tetapi juga ide yang menumbuhkan kebencian. Dalam perang ide, senjata paling ampuh adalah nilai dan keteladanan yang selama ini dicontohkan oleh kiai-kiai di pesantren.
Perlu dipahami bahwa bagi nadliyin, menjaga Indonesia dari ekstremisme bagian dari menjaga warisan para ulama pendiri bangsa. Bahwa agama dan negara tidak perlu dipertentangkan, dan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Dengan semangat itu, semoga pemerintahan Prabowo ke depan dapat terus meneguhkan komitmen kontra-terorismenya dengan ketegasan negara, kebijaksanaan budaya, dan kelembutan kemanusiaan.
Sebab pada akhirnya, keamanan sejati bukanlah ketiadaan ancaman, melainkan hadirnya rasa aman di hati setiap warga. Rasa aman itu hanya akan tumbuh bila negara dan masyarakat berjalan beriringan.


















































