
"KETIKA saya melihat orang-orang yang benar-benar menonjol, mereka bukanlah yang berkata, 'Seandainya saja saya punya bonus, anggaran lebih besar, atau wewenang lebih luas untuk merekrut dan memberhentikan, saya bisa mencapai hasil yang lebih baik'. Sebaliknya, mereka yang paling efektif berkata, 'Ini adalah kondisi yang saya hadapi, bagaimana saya bisa memanfaatkannya sebaik mungkin?' Dari situlah inovasi luar biasa muncul."
Ungkapan pengingat dari handbook Leadership and Culture. Comparative Models of Top Civil Servant Training oleh Montgomery Van Wart dkk pada 2015 yang penulis elaborasikan ini dimaksudkan untuk merespons sejumlah perundang-undangan dan kebijakan lainnya yang tidak memenuhi keseluruhan rangkaian proses legislasi secara proporsional, khususnya dalam soal transparansi publik, semisal tanpa memberikan informasi draf naskah akademik, dan tanpa sosialisasi setelahnya.
Bagi sebagian masyarakat yang belum piawai menyeleksi informasi, mungkin sudah mengafirmasi dampak psikologis yang dirasakan atas keputusan pemerintahan tersebut. Sementara itu, para operator politik terus mengglorifikasi media untuk propaganda dan disorder political will.
Bagi sebagian masyarakat sipil, terutama ormas Islam mainstream di Indonesia, dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya tentu membutuhkan perspektif yang moderat dan inklusif untuk merespons kebijakan tersebut. Seperti dibutuhkan beberapa langkah praksis untuk mengonfirmasi kepada segenap elemen, pelibatan akademisi, ahli, hingga ulama sampai dihasilkannya konstruksi yang dalam bahasa jurnalismenya disebut cover both side. Namun, akan lebih epik jika serangkaian ikhtiar agenda setting yang disusun organisasi-organisasi besar tersebut yang peduli untuk merespons serangkaian kebijakan juga disampaikan secara terbuka.
KRISIS ETIKA
Salah satu yang perlu dievaluasi dari segenap distrust public ialah manusia itu sendiri. Bagaimana membangun kompetensi diri dengan kedisiplinan dan ketuhanan yang akan selaras dengan etika dan respons yang dimilikinya. Pemerintah tidak cukup menitikberatkan beban etika masyarakat pada sektor pendidikan saja, tetapi juga bagaimana para elite menunjukkan keteladanan mereka dalam melakukan komunikasi publik, komunikasi kebijakan, hingga komunikasi politik yang partisipatif.
Krisis etika kerap menjadi perhatian utama bagi para ulama Indonesia, seperti Ahmad Syafii Maarif dan Haedar Nashir. Ahmad Syafii Maarif, melalui ungkapan keresahannya saat berusia 80 tahun dalam bukunya Tuhan Menyapa Kita, menyoroti bahwa ketika masyarakat, elite, dan tokoh agama kehilangan etika dan moral dalam mempraktikkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, terjadilah krisis peradaban. Karenanya, ditekankan pentingnya etika dalam politik, baik terhadap politisi, birokrat, rakyat, maupun dalam konteks global.
Sementara itu, Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam Orasi Penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX dari Universitas Gadjah Mada pada Desember 2024, menyoroti krisis moral dan etika yang melanda bangsa Indonesia. Ia mencatat bahwa sejumlah kejadian atau kasus menunjukkan adanya peluruhan moral dan etika luhur bangsa. Haedar menekankan bahwa dimensi moral dan etika dalam kehidupan suatu masyarakat atau bangsa tidak dapat dipandang enteng karena keduanya menyangkut urusan nilai baik dan buruk yang merupakan representasi dari martabat rohani dan akal budi manusia.
PRINSIP KOSMOPOLITANISME ISLAM
Dalam sebuah buku Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan yang penulis bedah pada awal Januari 2025, seolah penting untuk kita gemakan menjadi etika khalayak yang merupakan manifestasi prinsip universalisme Islam untuk menjawab krisis etika global. Dalam kosmopolitanisme, nilai-nilai Islam berkemajuan diharfiahkan secara lebih luas dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Konsep kosmopolitanisme yang telah disebarluaskan Muhammadiyah itu untuk menunjukkan bahwa Islam ialah agama yang inklusif, terbuka, dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan zaman.
Salah satu tokoh yang menekankan pentingnya sikap keterbukaan umat Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dari Barat ialah Buya Hamka. Pemikirannya sejalan dengan prinsip yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, yang menjadikan ilmu sebagai elemen kunci dalam kehidupan umat Islam. Sejarah di Muhammadiyah, tokoh kosmopolitnya ialah Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, dan Din Syamsuddin yang berhasil mengelaborasikan diskursus Barat dan Timur. Dengan demikian, sejak berdirinya Muhammadiyah hingga sekarang, dapat disebut sebagai organisasi yang menerapkan prinsip kosmopolit.
Konsep Islam kosmopolitan yang dipresentasikan dalam buku tersebut mencerminkan tiga aspek utama. Pertama, hubungan dan interaksi antaragama yang harmonis. Kedua, Islam yang senantiasa kembali kepada ajarannya sebagai rujukan utama. Ketiga, tujuan Islam yang bersifat universal untuk kesejahteraan umat manusia. Amin Abdullah menegaskan bahwa Muhammadiyah sejak awal telah memiliki pemikiran yang bersifat kosmopolitan. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengatasi ketimpangan dalam pengembangan ilmu yang diselaraskan dengan etika sektor birokrasi atau sosial yang terinterpretasikan ke dalam etika publik.
Dalam konteks global, beberapa negara dengan minoritas penduduk muslim telah mengintegrasikan nilai-nilai spiritualitas dan universal Islam dalam manajemen sumber daya manusia (SDM). Di Singapura, meski muslim merupakan minoritas, negara itu mengadopsi nilai-nilai universal seperti keadilan, transparansi, dan integritas dalam mengelola masyarakat. Prinsip-prinsip itu sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan keadilan dan etika dalam bekerja.
Dengan mengadopsi nilai-nilai universal Islam dan prinsip-prinsip kosmpolitanisme Islam dalam pengelolaan manusia, negara-negara dengan minoritas muslim dapat menciptakan lingkungan kerja yang humanistik dan etis. Pendekatan itu tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga berkontribusi pada keberhasilan suatu negara secara lebih efisien, tapi menyeluruh.
KOSMOPOLITANISME SEBAGAI PENDEKATAN
Bagi sebagian kelompok muslim, menempatkan konsep kosmopolitanisme dalam keilmuan harus menjadi komitmen yang dikonsistensikan secara berkelanjutan. Orientasi keilmuan di perguruan tinggi, yang selama ini banyak merujuk pada warisan filsafat Yunani Kuno, tidak seharusnya diterima secara absolut tanpa mempertimbangkan perspektif keilmuan Islam yang kaya dengan nilai-nilai etika dan keseimbangan.
Di sisi lain, pemahaman terhadap Islam tidak boleh terbatas hanya pada narasi dan doktrin Timur Tengah, tetapi juga perlu dikaji dalam konteks negara-negara maju yang memiliki jejak intelektual dan tradisi keilmuan yang kuat dan sejalan dengan prinsip kosmopolitanisme Islam tersebut. Karena itu, menghasilkan sintesis pengetahuan yang lebih inklusif, berorientasi pada kemajuan, dan tetap berpijak pada prinsip keseimbangan keilmuan Islam.
Dalam konteks kepemimpinan dan etika kekuasaan, memahami perspektif Barat dengan terbuka adalah penting agar dapat mengidentifikasi kesamaan nilai kosmopolit serta perbedaannya dengan prinsip kepemimpinan berbasis etika Islam. Barat cenderung mengedepankan rasionalitas, transparansi, dan akuntabilitas yang dalam banyak hal sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang amanah, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
Hal utu sesuai dengan prinsip good governance yang banyak diinisasi dalam sistem pemerintahan Barat, seperti checks and balances, partisipasi publik, dan kebebasan berpendapat, merupakan aspek yang dapat diadaptasi untuk memperkuat etika kepemimpinan di berbagai sistem pemerintahan. Indonesia pun sebagian elektoran telah menunjukan prinsip good governance tersebut.
Meski demikian, pendekatan kepemimpinan dalam perspektif Barat sebagian berorientasi pada pragmatisme dan efektivitas yang bisa berbeda dengan konsep kepemimpinan dalam Islam yang menekankan hikmah, maslahat, dan keseimbangan dunia-akhirat. Dalam pemaknaan model kepemimpinan transformasional dan transaksional di Barat, pemimpin dinilai berdasarkan kemampuan mencapai target dan efisiensi kebijakan. Sementara itu, dalam Islam, kepemimpinan juga dikaitkan dengan nilai spiritualitas dan tanggung jawab moral di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin muslim untuk mengambil pelajaran dari sistem kepemimpinan Barat tanpa kehilangan esensi nilai-nilai etik yang menjadi fondasi kepemimpinan dalam Islam.
PRAKTIK ADMINISTRASI UNTUK ETIKA KEBERNEGARAAN
Pendekatan terbuka dalam memahami perspektif Barat dapat memperkaya strategi kepemimpinan dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip etika. Mengadopsi sistem meritokrasi dalam birokrasi, penerapan transparansi dalam pengambilan kebijakan, serta konsep servant leadership--yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi--merupakan contoh bagaimana unsur kepemimpinan Barat dapat diharmonisasikan dengan nilai Islam.
Dengan sikap terbuka dan kritis, pemimpin muslim dapat membangun tata kelola yang lebih efektif, etis, dan berkelanjutan tanpa harus kehilangan identitas nilai keislamannya.
Pendekatan terbuka dalam memahami perspektif Barat juga sejalan dengan prinsip kosmopolitanisme untuk kompetensi pemimpin yang mana seorang pemimpin harus memiliki kemampuan adaptasi, pemikiran kritis, dan keterbukaan terhadap perspektif baru. Dalam konteks ini, pemimpin yang kompeten tidak hanya memahami sistem kepemimpinan dalam tradisi mereka sendiri, tetapi juga mampu mengambil pelajaran dari berbagai model kepemimpinan global.
Prinsip itu menekankan pembelajaran kita bahwa kepemimpinan yang berkelanjutan tidak hanya bergantung pada penguasaan teknis dan kebijakan, tetapi juga pada kesiapan untuk terus berkembang, mengevaluasi praktik kepemimpinan yang ada, serta mengintegrasikan nilai-nilai etis dalam setiap pengambilan keputusan. Oleh karena itu, mengkaji perspektif Barat dengan keterbukaan dapat menjadi bagian dari strategi pengembangan kompetensi kepemimpinan yang lebih holistik dan kontekstual dengan tetap menjaga nilai-nilai keislaman dan etika yang kuat dalam kepemimpinan publik.
Sebagai refleksi, misalnya di Australia yang masih dipengaruhi oleh tradisi Inggris, tetapi menjadi negara yang dalam pengelolaan manusianya diperhatikan dunia. Sebuah negara dengan kecenderungan egalitarianisme yang kuat telah meresap dalam masyarakat Australia dan memengaruhi bagaimana struktur pelayanan publik di negara tersebut dibentuk.
Australia dengan paradigma New Public Management (NPM) sejak 1990-an, dari handbook Leadership and Culture, menitikberatkan lima prinsip kepemimpinan yang mungkin dapat menjadi rekonstruksi pemimpin Indonesia; antara lain pertama mencapai hasil yang nyata. Kedua, Membangun hubungan kerja yang produktif. Ketiga, berkomunikasi dengan pengaruh dan dampak. Keempat, mencontohkan dorongan pribadi dan integritas. Kelima membentuk pemikiran strategis.
Finlandia menjadi negara dengan pelayanan sipil yang didasarkan pada prinsip sistem nonkarier dengan rekrutmen terbuka berbasis merit. Pun dalam hal sistem pelatihan, tidak membedakan antara individu yang memiliki karier di dalam pemerintahan negara dan mereka yang sebelumnya memiliki karier di luar pemerintahan sebelum memasuki posisi manajerial dalam pemerintahan. Finlandia juga tidak ada sistem pelatihan jalur cepat (fast-track training system). Setiap lembaga publik bertanggung jawab atas praktik pelatihannya sendiri dengan pedoman umum dari Kementerian Keuangan.
Sisi lainnya, terdapat profil kepemimpinan ideal bagi pejabat tinggi dalam administrasi kementerian Jerman adalah seorang 'generalis'. Dari perspektif itu, kualifikasi profesional seorang pegawai negeri tidak didasarkan pada keahlian kebijakan tertentu, tetapi pada kompetensi yang luas dan dapat diterapkan di semua bidang dalam administrasi federal. Sementara itu, Netherland, pemimpin dikatakan memiliki kompetensi unggul dengan kompetensi kolaborasi dalam jaringan kerja, pengembangan karyawan, kepekaan terhadap perkembangan sosial dan politik, kemampuan untuk membayangkan serta membangun koneksi lintas batas, dan pengetahuan profesional yang substantial.
United Kingdom yang juga mengalami krisis beberapa dekade terakhir dimisalkan dengan public distrust karena lingkungan administrasi yang semakin komersial, nilai-nilai seperti tradisi, loyalitas, dan perspektif jangka panjang cenderung tidak terlalu ditekankan. Namun, terdapat nilai-nilai kejujuran, integritas, ketidakberpihakan, dan objektivitas yang tetap dipertahankan. Ada beberapa pernyataan di handbook tersebut.
'Eksekutif terbaik tidak hanya menunggu orang lain memberi mereka peluang... mereka justru mencari dan menciptakan peluang'.
'I don’t know if the young people are going to get discouraged,” she said. “They might decide, in order to move forward, I have to conform. Or, they will leave'.
Sebuah refleksi yang dapat menjadi rekonstruksi paradigma kita dalam menentukan ketepatan kata saat berinteraksi, kesesuaian hati, pikiran, dan perilaku sebagaimana Al-Qur’an dengan senantiasa mengarusutamakan prinsip kosmopolit dengan dapat menginterpretasikan ke langkah praksis aktivitas individu atau organisasi.