Membangun Fondasi Inovasi: Kisah Grandprix, Ilmuwan Muda Sekaligus Inventor Paten

2 hours ago 1
 Kisah Grandprix, Ilmuwan Muda Sekaligus Inventor Paten Grandprix Thomryes Marth Kadja(Dok Ist)

KIPRAH Grandprix Thomryes Marth Kadja, seorang dosen dari Kelompok Keahlian Kimia Anorganik dan Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Insitut Teknologi Bandung (ITB), tak bisa dipandang sebelah mata. Ia tak hanya menjadi salah satu penerima Penghargaan Achmad Bakrie XX dalam kategori Ilmuwan Muda, tetapi juga masuk dalam daftar Top 2% Ilmuwan Dunia versi Elsevier dan Stanford University. Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi peneliti berusia awal 30-an.

Penghargaan Achmad Bakrie adalah inisiatif Keluarga Bakrie untuk mengapresiasi putra-putri Indonesia yang memiliki pencapaian dalam bentuk gagasan, karya, dan kontribusi luar biasa serta bermanfaat bagi Indonesia, bahkan dunia.

Penghargaan Achmad Bakrie, yang telah diselenggarakan sejak 2003, diberikan kepada tokoh-tokoh yang dianggap luar biasa dan memiliki kontribusi besar bagi bangsa di berbagai bidang seperti Sains, Kedokteran, Sastra, dan Pemikiran Sosial. Grandprix mendapatkan penghargaan ini berkat penelitiannya yang berfokus pada pengembangan material nano sebagai katalis untuk energi berkelanjutan. Ia merupakan sosok di balik riset perintis di Indonesia yang mengembangkan MXene, material nano dua dimensi, sejak tahun 2019.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Grandprix menjelaskan bahwa penelitiannya ini terkait material nano, khususnya MXene. Material nano itu sendiri merupakan material yang memiliki ukuran partikel atau struktur internal pada skala nanometer, yaitu sekitar 1 hingga 100 nanometer (1 nanometer = 1 per satu miliar meter).

“MXene sendiri adalah material nano 2 dimensi (2D) karbida atau nitrida logam transisi, seperti lembaran morfologinya dengan ketebalan dalam skala nano, mirip material grafena. Material MXene ini punya banyak sekali keunikan dan sifat unggul, seperti elektro konduktif, luas permukaan besar dan dapat direkayasa, hidrofilik, dan sifat-sifat menguntungkan lainnya,” terang Grandprix.

Lebih lanjut Grandprix mengatakan, MXene banyak sekali diaplikasikan dalam penelitiannya. Beberapa aplikasi yang dilakukannya adalah katalis untuk produksi hidrogen dari air, konversi CO₂ menjadi bahan bakar kimia bernilai tinggi, serta membran untuk pemisahan polutan. Menurutnya, pengaplikasian MXene juga sangat menjanjikan untuk teknologi penyimpanan energi, seperti superkapasitor dan baterai litium-ion, karena kehadirannya dapat meningkatkan kapasitas penyimpanan energi tinggi dan laju pengisian yang cepat.

“Di Indonesia, laboratorium saya telah menjadi pelopor/pionir dalam hal penelitian MXene sejak tahun 2019. Kami yang pertama mensintesis dan mempublikasikan penelitian MXene di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, dalam hal pelindungan kekayaan intelektual (KI), Grandprix menyatakan pentingnya pendaftaran paten dalam mendorong pertumbuhan inovasi, invensi, dan komersialisasi di perguruan tinggi.

“Invensi kami terkait MXene ini, telah didaftarkan di DJKI. Bagi kami, pendaftaran paten dapat menjadi jembatan antara riset akademik dan dunia industri. Dengan begitu, hasil penelitian dosen dan mahasiswa mendapatkan pelindungan hukum yang jelas,” ucap Grandprix.

“Pendaftaran paten juga dapat menjadi pengakuan resmi atas kebaruan dan orisinalitas riset, yang dapat meningkatkan reputasi perguruan tinggi serta menjadi indikator kinerja riset yang diakui. Paten juga membuka peluang komersialisasi karena memberi kepastian hak kekayaan intelektual bagi mitra industri, investor, maupun start-up yang ingin mengadopsi teknologi tersebut,” lanjutnya.

Grandprix juga memberikan pandangannya tentang keterterapan paten perguruan tinggi di industri yang tergolong masih relatif rendah. Menurutnya, sebagian besar karena keterbatasan akses ke pasar, kurangnya inkubasi teknologi, dan minimnya model bisnis yang menjembatani riset ke produk siap pakai.

Namun, pengajuan permohonan pendaftaran paten dapat menjadi langkah awal yang krusial untuk membangun budaya inovasi yang kokoh. Harapan ke depannya, perguruan tinggi dapat memperkuat ekosistem inovasi dengan mendorong kolaborasi lintas sektor, mencetak lebih banyak teknologi yang siap dikomersialisasikan, serta mampu membangun jejaring dengan industri sehingga paten tidak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga sumber nilai ekonomi dan solusi nyata.

Dalam hal tren peningkatan permohonan paten dari perguruan tinggi dalam satu dekade terakhir, Grandprix menanggapi positif, baginya ini menunjukkan semakin kuatnya budaya riset, inovasi, dan kesadaran akan pentingnya pelindungan KI di kalangan akademisi. Ia berharap tren ini tidak hanya berhenti pada jumlah paten yang terdaftar, tetapi juga diiringi dengan kualitas paten serta keterterapannya di industri dan masyarakat.

“Perguruan tinggi perlu mendorong riset yang berorientasi pada solusi nyata, memperkuat hilirisasi teknologi, dan membangun kolaborasi strategis dengan dunia usaha agar paten yang dihasilkan benar-benar memberikan dampak ekonomi dan sosial. Dengan demikian, peningkatan jumlah paten akan sejalan dengan kontribusi nyata perguruan tinggi terhadap kemajuan industri nasional dan kesejahteraan masyarakat,” tutur Grandprix.

Menutup kesempatan wawancara tersebut, Grandprix turut menyoroti perubahan ketiga UU Nomor 65 Tahun 2024 yang memperpanjang grace period menjadi 1 tahun. Ia menyambut baik kebijakan yang dapat memberi waktu lebih bagi inventor untuk mematangkan riset, mencari pendanaan, dan merancang strategi hilirisasi sebelum mengajukan paten, sehingga paten yang dihasilkan lebih siap dikomersialisasikan dan memberi manfaat nyata bagi industri serta masyarakat.

Prestasi Grandprix menjadi contoh nyata bagaimana invensi dari perguruan tinggi dapat membawa dampak signifikan. Hal ini disambut baik oleh Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), dan Rahasia Dagang Sri Lastami.

"Kami sangat bangga dengan pencapaian Dr. Grandprix Kadja. Ini membuktikan bahwa inovasi-inovasi yang lahir dari perguruan tinggi kita mampu bersaing dan diakui di kancah global. Pencapaian ini menjadi motivasi bagi kami di DJKI untuk terus mendorong dan memfasilitasi pelindungan KI, khususnya paten, dari para inventor dalam negeri," kata Lastami.

Lastami juga memaparkan berbagai kebijakan yang telah diimplementasikan DJKI untuk mendorong paten dari dalam negeri, terutama dari sektor perguruan tinggi. Salah satu program yang telah sukses terlaksana adalah Patent One Stop Services (POSS), yang memberikan layanan paten terpadu. Selain itu, ada juga program Patent Examiners Go to Campus yang mengirimkan para pemeriksa paten langsung ke kampus untuk memberikan pendampingan teknis dan edukasi mengenai penyusunan spesifikasi paten atau paten drafting.

Semua kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem KI yang merata dan produktif di Indonesia. DJKI berupaya meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya perlindungan KI, serta mempermudah akses inventor terhadap layanan pendaftaran dan konsultasi.

"Kami berharap, melalui berbagai program ini, jumlah permohonan paten dari perguruan tinggi akan meningkat secara masif. Lebih dari itu, kami ingin paten tidak hanya sebatas dokumen legal, tetapi juga menjadi instrumen yang mampu didayagunakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Invensi-invensi yang telah dilindungi paten diharapkan dapat dihilirisasi dan dikomersialkan, sehingga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas dan menjadikan Indonesia bangsa yang inovatif dan berdaya saing,” pungkasnya.(H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |