Membaca Kisah di Balik Angka

3 hours ago 2
Membaca Kisah di Balik Angka (MI/Duta)

TAHUKAH Anda bahwa angka bisa menipu, membanggakan, sekaligus melukai hati seorang anak? Di dalam rapor, ia mungkin hanya tampak sebagai deret angka dua digit--97, 90, 85, 70, atau bahkan 60. Namun, di baliknya, selalu ada seorang anak yang sedang berjuang. Angka-angka itu lalu dengan mudah dibaca sebagai ukuran kepintaran, kesungguhan, bahkan masa depan. Orangtua tersenyum bangga pada angka tinggi, dan cemas pada angka yang rendah. Padahal, sesungguhnya, angka-angka itu hanyalah gambaran kulit luar. Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, "Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik angka itu?"

DUA KISAH, DUA CERITA YANG BERBEDA

Dalam pengamatan saya di kelas, terpantau seorang siswa yang berjuang keras memahami Fisika. Ia bukan tipe siswa yang langsung paham saat guru menjelaskan. Setiap materi, setiap soal, harus disimaknya dengan tekun. Ia mengerjakan soal yang sama berulang kali hanya untuk memastikan ia benar-benar mengerti.

Sering kali, saat teman-temannya berkumpul saat jam istirahat, ia memilih tetap duduk di kursinya, membuka catatan dan mengulang kembali. Keputusannya untuk menyendiri bukanlah bentuk antisosial, melainkan ia tahu ia harus berusaha lebih keras agar tidak semakin tertinggal. Namun, ketika ulangan tiba, angka yang ia peroleh hanya 60.

Sementara itu, seorang siswa lain yang selalu meraih angka 95 justru menghadapi tantangan berbeda. Namun, di balik angka sempurna itu, tersimpan cerita yang tak terlihat. Malam sebelum ujian, ia sering sulit tidur, dihantui bayangan, "Bagaimana kalau nilainya turun?" Ia diliputi ketakutan akan mengecewakan orangtuanya, takut senyum bangga di wajah mereka berganti kecewa. Nilai tinggi itu tidak hanya bersumber dari kemampuan kognitif, tetapi juga hasil dari keberanian melawan rasa takut dan kecemasan yang menghampirinya. Inilah realitasnya.

ANGKA YANG TAK PERNAH NETRAL

Kisah dari kedua anak itu dengan jelas menunjukkan bahwa angka bukanlah segalanya. Angka 60 dan 95 sama-sama menyimpan nilai bermakna: dua kisah dengan cerita yang berbeda. Yang satu bercerita tentang ketekunan tak kenal lelah, satunya lagi cerita tentang keberanian melawan rasa takut. Keduanya sama-sama layak diapresiasi.

Sebagai guru fisika yang setiap hari bergelut dengan angka, saya akui angka sering dianggap sebagai ukuran yang pasti. Ia menjadi simbol ketepatan. Namun, di balik kepastiannya, tersimpan kisah perjuangan, proses berpikir, dan kerja keras yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan oleh bilangan. Di balik angka 95 mungkin terdapat bakat alamiah, tapi tak jarang juga bisa muncul dari tekanan besar. Angka 60 yang tampak sederhana bisa saja menyimpan usaha luar biasa seorang anak yang awalnya hanya mampu 20.

Sayangnya, cerita-cerita itu sering hilang. Tak terhitung anak-anak yang perlahan kehilangan kepercayaan diri karena angka mereka tidak memenuhi harapan. Betapa sering kita menjumpai orangtua yang tak menyadari betapa keras anaknya berjuang?

Ketika pendidikan terlalu berfokus pada angka, anak-anak bisa terjebak dalam identitas semu: 'aku pintar karena dapat angka 90' atau 'aku gagal karena hanya dapat angka 60'. Label itu menutup potensi dan mengikis kepercayaan diri. Anak yang lemah di bidang akademik, bisa jadi luar biasa dalam seni. Anak yang kesulitan memahami teori bisa sangat berbakat dalam hal praktik. Sayangnya, rapor jarang mampu menceritakan sisi itu. Perubahan harus dimulai.

LALU, APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Menyadari kompleksitas di balik angka-angka itu, kita tidak bisa hanya berhenti pada pemahaman. Tindakan nyata harus segera diambil.

Sebagai guru, kita bisa menerapkan pendekatan berdiferensiasi. Diferensiasi ialah proses belajar yang mana siswa mempelajari materi berdasarkan kemampuan, minat, dan kebutuhan individu merek sehingga mereka tidak frustrasi (Tomlinson, 2017).

Penerapan diferensiasi dalam pelajaran fisika kelas 10, misalnya, dapat diwujudkan dengan membagi siswa berdasarkan kesiapan belajar. Untuk topik gerak lurus, sebagai contoh, siswa yang mengalami kesulitan dapat menggunakan simulasi visual, siswa dengan pemahaman rata-rata menganalisis grafik, sementara siswa yang lebih maju ditantang untuk merancang eksperimen sendiri. Bentuk penilaiannya juga berbeda, memberi pilihan antara mengerjakan kuis tradisional, membuat video eksperimen, atau poster kreatif. Dengan demikian, setiap siswa memiliki jalan yang sesuai untuk memahami konsep dan menunjukkan kemampuan mereka.

Perubahan mendasar dalam memaknai pendidikan harus dimulai dari kolaborasi antara guru dan orangtua. Kita perlu membangun pola pikir yang lebih manusiawi dalam memandang proses belajar anak. Dimulai dari penghargaan terhadap proses belajar daripada sekadar hasil akhir. Setiap nilai yang tercantum di rapor hanyalah puncak gunung es dari perjalanan panjang yang penuh perjuangan. Semangat pantang menyerah, kesabaran mengulang materi, dan keberanian bertanya patut diapresiasi lebih dari sekadar angka semata.

Selanjutnya, mari kita ciptakan ruang dialog yang hangat dan tanpa penghakiman. Alih-alih bertanya "Berapa nilaimu?", cobalah "Bagaimana kesulitanmu memahami pelajaran ini?" Pertanyaan seperti itu membuka percakapan bermakna yang memungkinkan kita memahami perjuangan belajar anak secara utuh.

Tak kalah penting, penerimaan akan keunikan tiap-tiap anak dengan lapang. Tidak semua anak ditakdirkan menjadi ahli matematika--ada yang berbakat di seni, olahraga, atau bidang lainnya. Tugas kitalah menjadi pendeteksi bakat yang dapat melihat potensi cerah di luar ukuran akademik konvensional.

Yang terpenting, bangunlah kedekatan emosional yang tulus. Tanamkan pemahaman bahwa belajar ialah petualangan menemukan passion, bukan perlombaan meraih angka tertinggi.

PENDIDIKAN YANG LEBIH MANUSIAWI

Bayangkan sebuah pendidikan yang tidak hanya mencetak angka di rapor, tetapi juga menyertakan catatan tentang kreativitas, empati, dan keberanian. Rapor seperti itu akan mampu menggambarkan anak secara lebih utuh.

Pada akhirnya, kita perlu ingat: angka hanyalah simbol. Di baliknya ada cerita, ada anak yang sedang berjuang. Rapor boleh menuliskan angka, tetapi ia tidak bisa menuliskan kekecewaan, senyum, ketekunan, atau semangat yang menyala. Tugas kitalah--sebagai guru dan orangtua--untuk membaca kisah di balik angka itu, bukan sekadar menilai permukaannya.

Sebab, setiap anak sedang berjuang dengan cara mereka sendiri. Perjuangan itu, sungguh, jauh lebih berharga daripada sekadar angka di atas kertas.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |