(Dokpri)
MEDIA (cetak, elektronik, dan digital) disadari atau tidak bukan semata penyampai pesan. Media merupakan salah satu perangkat sosial yang memiliki fungsi, dampak, pengaruh, dan tarikan sensitif tersendiri bagi kelangsungan hidup bermasyarakat.
Demikian halnya untuk eksistensi dan transformasi nilai-nilai agama. Tidak sedikit filosof sejak dulu telah mensinyalir media mempunyai manfaat, maslahat, sekaligus juga dampak kurang bagus dan tidak menguntungkan dari aspek spirit agama. Kendati demikian, media tetap media, perangkat kelengkapan sosial kehidupan, yang sama sekali tidak mungkin dihindari sepenuhnya. Ini realita yang tersuguhkan di hadapan masyarakat.
Media bisa membuat manusia produktif, positif-afirmatif, aspiratif-optimistik, tetapi juga sering menggeser eksistensi manusia ke trotoar skeptisisme. Bahkan (mungkin) ikut menjerumuskan sebagian manusia ke jalur-jalur parsialistik, ambigu, paradoks, dan memagari mereka terhadap tindakan esensialistik. Karena media terkadang lebih cenderung dominatif, hegemonik, eksploitatif, dan menciptakan otonomi tanpa arah bagi keberadaan manusia.
Media itu satu sisi melebarkan rasionalitas tapi sisi lain justru menjebak manusia di kolong-kolong irasionalitas. Dalam segi tertentu tampak mendukung laju pertumbuhan secara positif, pada segi berikutnya media sering juga memangkas hal-hal etik dari manusia.
Terasa aneh tapi nyata. Itulah kehadiran media. Kebaikan ia racik dan sediakan kemudian disuguhkan beraneka rupa. Ia manjakan manusia melalui sentuhan dan tarian-tarian instrumentalistik. Aspirasi, orientasi, kebutuhan sosial setiap manusia diraba, diterka, dipilah, lalu diintrodusir sedemikian seksi.
Hal-hal praktis menyangkut kelangsungan sosial kehidupan manusia didekorasi sebegitu estetis-teknologis. Wajar kalau sebagian besar manusia mudah tergiur dan terjebur. Tak heran jika kebanyakan manusia abai, lupa, dan bahkan kehilangan kendali dalam memaknai, menempatkan, dan memanfaatkan media di ruang-ruang sosial kehidupan bermasyarakat. Miris dan mengkhawatirkan. Inilah realitas berbasis kecanggihan media.
Pembentuk persepsi
Salah satu aspek yang paling terasa, diakui atau tidak, media ini paling mudah dan cepat membentuk persepsi. Ia bukan sekadar mengalirkan pesan tapi senantiasa memberikan tekanan. Banyak cara pandang manusia seketika berubah lantaran disenggol dan didesak oleh media dengan pelbagai orientasi ilustratif-pragmatisnya.
Ini di antara karakteristik media yang sulit diabaikan mayoritas manusia. Bukan hanya jalur personal ia obrak-abrik. Ruang komunal pun sering tanpa ampun dicabik-cabik. Memang canggih tapi selalu membuat kita tertindih. Ia benar-benar hadir dengan potensi dan kecakapan dirinya yang seakan cukup terlatih.
Sebagai pembentuk persepsi, jelas media itu bukan satu-satunya alat yang cocok dan edukatif untuk diberikan porsi lebih dalam kelanjutan sosial kemanusiaan. Ia harus dikontrol dan dibatasi. Sebab tampak sekali media itu bukan alat yang netral. Ia sangat subyektif. Ia lembut, halus, akan tetapi tendensius. Ia terlihat ramah dan indah, namun begitu lincah membuat sebagian manusia tersandera dan mati langkah.
Bahwa media merupakan sarana alternatif mengantarkan manusia pada percepatan pengetahuan dan interaksi sosial tidak diragukan. Akan tetapi, harus disadari media pula yang membuat sebagian manusia kehilangan harmoni.
Sebagaimana dimafhumi, media adalah segala bentuk sesuatu yang dapat dijadikan penyaluran informasi. Ia benda terlihat, terbaca, nyata, sekaligus mampu memanipulasi persepsi manusia melalui berbagai instrumentalitas yang melekat. Ia mampu berevolusi dan berevolusi. Ada banyak manfaat ia bawa. Juga tak sedikit mudarat ia ciptakan.
Berbagai platform dan sumber, mulai dari yang beraroma intelektual, beririsan secara moral, dan bersenyawa dengan finansial, ia letupkan sesuka-suka. Itulah media. Senantiasa menggedor persepsi manusia tanpa mempertimbangkan lagi hal-hal yang dikategorikan wajar atau tidak wajar, etis atau tidak etis, demi merawat kehidupan. Yang penting disalurkan.
Mula-mula media hadir sebagai pengalir informasi dan pembentuk persepsi. Namun, dalam satu tarikan napas seketika pula ia mengubah cara berinteraksi dan berkomunikasi dari dan antarmanusia maupun dengan lingkungannya. Akses informasi sedemikian transparan ditawarkan atau diberikan. Pilihan diksi dan cuplikan (materi) agitasi ia pasang di setiap daun, dahan, dan pohon hingga sendi-sendi sosial kemasyarakatan.
Seakan ia tahu manusia suka membutuhkan dan mengidamkan. Ia seperti mengerti bahwa persepsi manusia tidak pernah utuh dan tunggal. Kompleks, rapuh, dan cepat runtuh. Mudah digoda, dicolek, dan dibiaskan. Gampang dialih-alihkan. Apalagi disusupi atas nama proyeksi perubahan dan kemodernan.
Nutrisi agama
Lepas dari kecenderungan di atas, media (cetak, elektronik, dan digital) seyogianya juga patut diintegrasi jadi nutrisi agama. Fungsi taktis dan strategis media, sekali lagi, di luar sebagai pembentuk persepsi, sejatinya ada kesamaan pula dengan eksistensi, esensi, dan orientasi agama di hadapan publik.
Yakni mengalirkan kabar baik, berita gembira, kisah bersahaja berbasis spirit maupun nilai-nilai sakral sunnah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Minimal dalam rangka saling menguatkan dan mentransformasikan pesan-pesan maupun komitmen luhur ilahiah terhadap kelangsungan sosial bermasyarakat. Media tidak lagi dianggap semata penebar fitnah, pelebar keburukan, pengepul kejahatan, dan lain-lain.
Ketika media menjadi nutrisi agama, pelan tapi pasti ia menjelma perangkat penghubung surgawi dari dan untuk kebajikan kemanusiaan sekaligus integritas kehambaan. Ia bisa menyegarkan dan menyehatkan oksigen imani serta energi ketakwaan. Tidak cepat meracuni aliran darah keumatan.
Ia ikut mendandani tampilan, pola gerak, percepatan interaksi, kualitas komunikasi, dan afiliasi umat beragama dalam mempublikasi serta mengaktualisasi amanah Ilahi. Ia mengada secara esensial, jauh dari tipologi barbar apalagi temporal. Bukan sebatas larut dari dan untuk kepentingan pasar iklan, viralitas, dan pragmatisme bisnis-kapitalistik.
Lebih jauh, ia akan menyuburkan pematangan dan pendewasaan imani bagi setiap umat beragama. Dalam perspektif etika, media yang dijadikan nutrisi agama bisa mengukir kontribusi nyata terhadap pemompaan kualitas kehambaan dan kekhalifahan di muka bumi dengan optimistik. Secara tertata dan terarah ia akan mengatrol, memicu, memandu aktualisasi dan transformasi religiusitas sekaligus meningkatkan imunitas spiritualitas.
Melalui media dalam konteks ini, agama akan menggairahkan dan mencerahkan. Meminjam bahasa Al-Maududi, agama akan lebih paripurna (a'ma) dan media pun akan kian kuat (aqwa).Dus, ruang cetak, elektronik, dan digital yang semakin lincah ini otomatis menjadi ruang moral, ruang etik, ruang religius, ruang spiritual, dan ruang humanisme universal dalam lajur peradaban global.
Media segera menemukan momentum terindahnya mengiringi aliran semangat dan konstruksi sosio-keberagamaan. Ia akan efektif mengedukasi persepsi setiap umat beriman. Setidaknya, umat beragama tidak akan pernah mudah terjebak atau terseret lagi ke dalam pergulatan konstruksi persepsi-persepsi sosial yang binal, liar, di luar nalar religius dan mendistorsi kedalaman spiritualitas. Dalam konteks ini, media bersenyawa dengan agama.


















































