
GEBRAKAN pemerintah menjadikan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebagai instrumen fiskal yang benar-benar bekerja bagi dunia usaha dan rakyat, patut diapresiasi serta diawasi ketat agar efektif. Dalam hitungan hari setelah dilantik, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 12 September 2025 menerbitkan kebijakan yang mengalihkan Rp200 triliun dana SAL dari “parkir” di Bank Indonesia (BI) ke lima bank milik negara dengan skema deposito on-call, yakni BRI, BNI, dan Mandiri masing-masing sebesar Rp55 triliun; BTN sebesar Rp25 triliun; serta BSI sebesar Rp10 triliun.
Langkah ini menambah likuiditas perbankan, memperlonggar ruang ekspansi kredit, dan jika diarahkan dengan tepat menjadi darah segar bagi investasi serta konsumsi yang produktif. Kebijakan ini juga memberi sinyal penting bahwa kas negara tidak cukup hanya tercatat di neraca, tapi harus menghidupkan perekonomian, hadir sebagai pengungkit yang memacu produksi dan serapan tenaga kerja.
Kebijakan fiskal ekspansif yang progresif ini mendorong investasi dan belanja pada sektor privat mendapat respons positif dari pasar keuangan yang ditunjukkan perbaikan IHSG setelah sempat melemah saat pergantian Bendahara Umum Negara tersebut Pernyataan mantan bos Lembaga Penjamin Simpan (LPS) mengenai urgensi pergeseran dana pemerintah ke sistem perbankan agar kas negara tidak sekadar menjadi angka belaka di neraca, seperti mengirimkan sinyal bahwa dia menempuh jalan berbeda dari pendahulunya.
Secara keseluruhan, pengelolaan SAL yang produktif merupakan instrumen penting dalam manajemen APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, produktivitas ini sangat bergantung pada efisiensi, akuntabilitas, dan kehati-hatian dalam alokasi dana sehingga manfaat yang dihasilkan dapat dirasakan optimal oleh masyarakat.
Kebijakan ini harus dibarengi pengendalian penerbitan surat utang negara (SBN) dan percepatan realisasi belanja pemerintah. Penggunaan SAL dimaksud sebagai upaya pemerintah menstimulus ekonomi tanpa menambah beban belanja secara signifikan sehingga stabilitas fiskal terjaga dan pertumbuhan ekonomi tetap berlanjut.
Manajemen Defisit Untuk Produktivitas
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan SAL merupakan akumulasi dana sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) dari tahun-tahun sebelumnya dan tahun berjalan setelah tutup buku. Sistem akuntansi pemerintah menyajikannya pada Laporan Perubahan SAL sebagai bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Sedangkan SiLPA adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan dan penerimaan pembiayaan dengan realisasi belanja dan pengeluaran pembiayaan pada Laporan Realisasi APBN selama satu periode pelaporan.
Secara tata kelola, SAL yang identik dengan kas Negara pada Rekening Kas Umum Negara berfungsi sebagai penyangga fiskal: menutup defisit, mendanai kebutuhan kas temporer, dan pada desain tertentu dapat dipakai untuk kegiatan produktif. Masalahnya, beberapa tahun terakhir “penyangga” ini terlalu sering menjadi angka diam tersimpan rapi dalam “safety box” BI. Padahal SAL dapat mengurangi kebutuhan pembiayaan defisit yang berasal dari utang baru seperti penerbitan SBN sehingga pemerintah dapat menambal defisit anggaran tanpa harus memperbesar beban utang.
Dinamika perekonomian dunia dan domestik yang bergejolak tetap harus menyisakan ruang inovasi agar APBN bekerja secara efisien dan produktif. Kebijakan yang prudent hanya terbatas mengelola keuangan dengan baik tetapi mungkin tidak mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal, sementara kebijakan efisien dan produktif memastikan APBN menghasilkan dampak positif yang signifikan bagi dunia usaha dan perekonomian rakyat.
Kinerja APBN pada periode kedua Jokowi menunjukkan mengelola defisit APBN belum maksimal. Indikatornya dapat dilihat dari perbandingan posisi SAL dengan penggunaan SAL dan penerbitan SBN. Data LKPP memperlihatkan posisi SAL sebagai aset fiskal terbesar yang kurang dimanfaatkan bahkan setelah sebagian dipakai untuk menalangi defisit dan dicadangkan Rp50 triliun masih menyediakan ruang pembiayaan Rp338,12 triliun pada 2020; Rp287,78 triliun (2021); Rp428,96 triliun (2022); Rp409,50 triliun (2023); dan Rp407,54 triliun (2024), bahkan pada 2022 tidak digunakan sama sekali.
Pada saat yang sama, beban bunga utang terus membesar: Rp314,09 triliun (2020), Rp343,50 triliun (2021), Rp386,34 triliun (2022), Rp439,88 triliun (2023), dan Rp488,43 triliun (2024). Sementara itu beban bunga untuk tahun berjalan pada APBN 2025 dialokasi Rp552,86 triliun dan pada R-APBN 2026 merencanakan Rp599,44 triliun. Perkembangan beban utang yang mengalami lonjakan menempatkannya mulai 2022 sudah melampaui belanja pegawai dan barang sebagai pos belanja terbesar negara menguras pundi-pundi APBN.
Manajemen utang tidak saja memperhitungkan jumlah penerimaan utang dan kewajiban pelunasannya tetapi juga memastikan penerimaan pinjaman tidak habis hanya untuk membayar beban utang (beban bunga dan cicilan pokok). Dalam penyusunan APBN harus diperhatikan keseimbangan primer untuk menjaga agar total pendapatan negara lebih besar atau setidak-tidaknya sama dengan total belanja negara (minus belanja bunga) untuk memastikan pembayaran bunga tanpa utang.
Defisit Pinjaman atas Beban Utang
Namun, kenyataannya pengelolaan defisit pada periode kedua Presiden RI ke-7 ini bukan saja tidak produktif tetapi juga tidak efisien. Penerbitan SBN dalam tiga tahun terakhir pascapandemi covid-19 (2020 dan 2021) kerap mengabaikan ketersediaan SAL sehingga beban bunga mengalami lonjakan signifikan.
Data LKPP menunjukkan penarikan pinjaman justru meningkat saat dana SAL tersedia sebagai pembiayaan defisit. Besaran penarikan pinjaman dalam tiga tahun dimaksud adalah pada 2022 sebesar Rp1.215,86 triliun, di 2023 sebesar Rp 947,06 triliun, dan 2024 Rp1.183,01 triliun.
Ironinya mulai 2023 pengelolaan utang pemerintah juga tidak lagi produktif karena pinjaman yang diterima, yakni sebesar Rp1.064,19 triliun dan 2024 sebesar Rp1.205,69 triliun lebih rendah dari beban utang. Kenyataan tersebut menunjukkan beban utang dalam dua tahun terakhir tidak mampu lagi ditutup dengan pinjaman yang diterima, sehingga pendanaan utang tidak lagi berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Turbulensi global, volatilitas harga komoditas, dan ketidakpastian geopolitik menuntut kebijakan fiskal yang bukan hanya hati-hati, tetapi juga tajam sasaran dan bernyali mempercepat mesin ekonomi. Tanpa itu, target pertumbuhan 6% yang berkualitas hanya menjadi janji. Karena itu, pembukaan keran SAL perlu ditata dalam sebuah strategi komprehensif: jelas urutan pembiayaannya, akurat sasarannya, disiplin pengamanan risikonya, dan transparan hasilnya.
Berikut ini lima fokus pembenahan yang realistis, terukur, dan dapat segera dioperasionalkan. Pertama, tetapkan aturan urutan pembiayaan yang tegas di mana pembiayaan defisit mengutamakan pemanfaatan SAL sebelum menerbitkan SBN atau menambah utang baru agar tekanan terhadap yield mereda, dan beban bunga berkurang pada tahun-tahun berikutnya.
Kedua, desain likuiditas SAL harus mendorong kredit produktif melalui mekanisme penempatan berbasis kinerja dengan target ekspansi kredit bernilai tambah UMKM, manufaktur berorientasi ekspor, ketahanan pangan, serta perumahan rakyat.
Ketiga, lakukan channeling terarah untuk program prioritas nasional. Untuk target pembangunan 5 juta rumah rakyat dalam beberapa tahun, salurkan dana SAL melalui bank nasional. Kombinasikan subsidi bunga yang terukur, penjaminan parsial berbasis kinerja, serta pola pembayaran bertahap agar arus kas proyek terjaga. Untuk koperasi dan UMKM, bangun skema “Koperasi Merah Putih” sebagai aggregator pembiayaan dan pendampingan.
Keempat, sinkronkan fiskal-moneter sekaligus perkuat transparansi real-time agar likuiditas yang dialirkan benar-benar diserap perekonomian. Orkestrasi dengan BI tanpa mempengaruhi independensi otoritas moneter penting untuk mengelola potensi lonjakan inflasi dan menjaga transmisi kebijakan moneter tetap efektif. Kelima, tetapkan indikator kinerja lintas-rantai kebijakan beserta disiplin fiskal jangka menengah agar manfaat SAL berkelanjutan.
Desain manajemen SAL ini, menempatkan SAL bukan sekadar “mengguyur likuiditas”, melainkan menggerakkan rantai produksi: bengkel kecil yang menambah shift malam, koperasi yang memperluas layanan, pabrik yang membeli mesin efisiensi energi, dan keluarga MBR yang akhirnya punya rumah pertama. Dampak ikutannya—ekspektasi membaik, belanja modal swasta tergerak, dan pasar keuangan lebih tenang karena kebutuhan penerbitan SBN menurun—adalah prasyarat menuju pertumbuhan 6% yang inklusif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, produktivitas SAL bertumpu pada tiga kata kunci yang sederhana namun menentukan: urutan pembiayaan yang benar, penyaluran yang terarah, dan akuntabilitas yang kasatmata. Jika itu dijalankan dengan disiplin, APBN kembali pada fungsi mulianya: stabilisasi yang cermat, pemerataan yang nyata, dan akselerasi pertumbuhan yang terasa sampai ke lantai pabrik dan pasar rakyat bukan sekadar buku kas raksasa yang pasif.(H-4)