Maduro Siaga Hadapi AS, Warga Venezuela Fokus Bertahan Hidup

5 hours ago 1
Maduro Siaga Hadapi AS, Warga Venezuela Fokus Bertahan Hidup Nicolas Maduro.(Al Jazeera)

KETEGANGAN di Venezuela meningkat tajam setelah Amerika Serikat (AS) mengerahkan kekuatan militer terbesar di lepas pantai Amerika Selatan dalam beberapa dekade terakhir.

Dikutip dari The Washington Post, dalam dua bulan terakhir militer AS menghancurkan sejumlah kapal di sekitar perairan Venezuela dan menewaskan puluhan orang.

Presiden AS Donald Trump memperingatkan bahwa daratan akan menjadi sasaran berikutnya, meski kemudian membantah rencana serangan darat. Sementara itu, operasi militer laut terus berlanjut.

Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menyatakan pasukan Amerika pada Sabtu (1/11) kembali menyerang kapal yang diduga digunakan untuk penyelundupan narkotika di Laut Karibia dan menewaskan tiga orang.

Pemerintah Presiden Nicolas Maduro merespons dengan mengerahkan pasukan ke perbatasan, menempatkan baterai antipesawat, dan menyerukan warga sipil untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.

Namun bagi sebagian besar warga, ancaman serangan dari luar bukanlah hal yang paling mendesak.

"Ya, saya khawatir atas serangan AS," kata seorang juru masak muda asal Sucre, daerah tempat beberapa kapal yang menjadi sasaran operasi militer AS berangkat. "Namun, kami tidak bisa memikirkan hal lain sebelum membeli makanan."

Ketika ditanya pada Jumat (31/10) apakah akan memerintahkan serangan terhadap wilayah Venezuela, Trump menjawab tidak. Meski demikian, banyak warga mengaku pasrah. Mereka kini lebih fokus pada inflasi tiga digit, kemiskinan yang meluas, dan tekanan politik yang terus berlangsung.

Negara sosialis otoriter itu telah menangkap sedikitnya delapan ekonom dan konsultan sepanjang tahun ini setelah mereka menerbitkan data inflasi, termasuk Rodrigo Cabezas, mantan menteri keuangan di era Hugo Chávez, mentor politik Maduro.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi Venezuela akan mencapai 269,9 persen pada akhir 2025 dan melonjak hingga lebih dari 680 persen pada 2026.

Pemerintah membantah negara itu terancam hiperinflasi dan menuduh Washington melancarkan perang ekonomi terhadap Caracas. Meski begitu, perekonomian Venezuela memang terpukul akibat sanksi Amerika Serikat, salah urus pemerintahan, serta praktik korupsi dan kroniisme.

Di ibu kota Caracas, lampu-lampu Natal sudah menghiasi jalanan. Namun tidak terlihat warga yang memperkuat tempat perlindungan atau menimbun kebutuhan pokok.

"Sekarang tidak ada seorang pun yang benar-benar punya cukup uang untuk menimbun apa pun," ujar sosiolog Universitas Tulane, David Smilde, dikutip dari the Washington Post. "Orang-orang sedang menderita secara ekonomi."

Lebih dari satu dekade kesulitan ekonomi dan dua dekade represi politik telah memaksa lebih dari tujuh juta warga Venezuela meninggalkan negara mereka. Populasi pengungsi Venezuela kini menjadi salah satu yang terbesar di dunia.

Kondisi sempat sedikit membaik pada 2021 ketika pemerintah melonggarkan kontrol harga dan mata uang serta mengizinkan lebih banyak transaksi menggunakan dolar AS. Rak supermarket kembali terisi dan dealer mobil baru mulai bermunculan.

Namun pemulihan itu tak bertahan lama. Pemerintah berhenti merilis data ekonomi. Para ekonom menyebut produk domestik bruto kembali menyusut, pengangguran meningkat, dan hiperinflasi kembali menghancurkan daya beli.

Penelitian Universitas Katolik Venezuela menunjukkan tujuh dari sepuluh rumah tangga hidup dalam kemiskinan pada 2024. Jalanan Caracas kini dipenuhi keluarga dan anak-anak yang mengemis.

Ketidakpastian mengenai potensi serangan AS juga memperburuk ekonomi. "Ekspektasi masyarakat telah meningkatkan permintaan dolar di pasar valuta asing," kata seorang ekonom Venezuela yang enggan disebutkan namanya karena takut ditangkap.

"Pendapatan rumah tangga terpukul hebat. Orang bisa membeli semakin sedikit. Resesi membuat banyak orang keluar dari pasar tenaga kerja. Mereka tidak lagi memperoleh upah. Kemiskinan semakin meningkat."

Pekan lalu, Maduro memerintahkan pembuatan aplikasi yang memungkinkan warga melaporkan segala sesuatu yang mereka lihat dan dengar. Ia juga meminta Mahkamah Agung, yang dikuasai pemerintah, merancang aturan untuk mencabut kewarganegaraan siapa pun yang menyerukan intervensi militer asing.

Wakil Presiden Delcy Rodriguez menjelaskan, Maduro ingin menerapkan langkah tersebut terhadap pemimpin oposisi Leopoldo López, mantan tahanan politik yang kini hidup di pengasingan di Spanyol.

"Maduro ingin mencabut kewarganegaraan saya karena saya mengatakan yang dipikirkan dan diinginkan semua orang Venezuela: kebebasan," ujar López.

Sejak militer AS mulai memperkuat kehadiran di sekitar Venezuela pada Agustus lalu, Maduro mengirim pasukan ke perbatasan Kolombia dan menyerukan rakyatnya bergabung dengan milisi pertahanan diri.

Maduro mengeklaim kemenangan dalam pemilu 2018 dan tahun lalu yang secara luas dianggap penuh kecurangan. Amerika Serikat tidak mengakui pemerintahannya. Kedua negara memutus hubungan diplomatik sejak 2019.

Tahun berikutnya, pengadilan federal AS mendakwa Maduro dan sejumlah pejabatnya atas tuduhan narkoterorisme serta menaikkan imbalan atas penangkapannya menjadi US$50 juta.

Meski menghadapi tekanan besar, Maduro tetap bertahan berkat dukungan militer, kelompok bersenjata pro-pemerintah Colectivos, serta gelombang penangkapan oposisi. Ia telah melewati upaya kudeta, krisis pandemi, kehancuran ekonomi, dan eksodus massal rakyatnya.

Namun kini, nada suaranya terdengar semakin mendesak. Dalam pernyataan langka berbahasa Inggris pekan lalu, ia memohon, "Tolong, tolong, tolong... jangan ada perang gila... damai untuk selamanya!"

Seorang guru sekolah di Caracas mengaku hanya berusaha bertahan hidup di tengah ketidakpastian.

"Saya tidak tahu apa yang akan terjadi," ujarnya dengan syarat anonim karena takut akan pembalasan. "Ekonominya sangat buruk, situasinya sangat sulit, jadi jika sesuatu akan terjadi, saya harap itu terjadi cepat."

"Kami tidak bisa terus hidup seperti ini lagi," katanya. (I-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |