Luhut Sebut Kereta Cepat Barang Busuk, Indef : Tambal Defisit tak Cukup

3 hours ago 2
 Tambal Defisit tak Cukup Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Woosh(Antara Foto)

PEMERINTAH didesak segera menyelesaikan persoalan utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Proyek ini sempat disebut sebagai barang busuk oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut sebelumnya menjabat sebagai Ketua Komite Percepatan Pembangunan Kereta Cepat saat pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman berpandangan pemerintah perlu menata ulang fondasi keekonomian proyek, bukan sekadar menambal defisit keuangan yang terjadi. 

Sejak awal, ujar dia, proyek ini dirancang dengan asumsi komersial yang terlalu optimistis tanpa memperhitungkan keseimbangan antara beban investasi, kapasitas penumpang, dan tarif yang realistis. Oleh karena itu menurut Rizal, penyelesaian masalah tidak cukup dilakukan dengan menambah penyertaan modal negara atau menunggu peningkatan jumlah penumpang.

"Dibutuhkan langkah penyelamatan strategis dari pemerintah mengenai proyek kereta cepat ini," ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (19/10).

Pemerintah, lanjutnya, perlu melakukan re-engineering atau menata ulang model bisnis agar proyek menjadi lebih produktif dan berkelanjutan. Langkah tersebut harus diiringi negosiasi restrukturisasi utang yang melibatkan aspek bunga, tenor, serta perbaikan manajemen dan tata kelola.

Lebih jauh, proyek ini sebaiknya dipandang sebagai bagian dari pengembangan koridor transportasi (transportation corridor development), bukan hanya sebagai moda transportasi. Dengan demikian, ujarnya, pendapatan non-tiket seperti pemanfaatan lahan di sekitar stasiun, konektivitas logistik, serta integrasi dengan kawasan industri dan properti harus menjadi sumber utama perbaikan arus kas dan pelunasan utang. 

Pendekatan ini, lanjutnya, mencakup pembangunan ekosistem ekonomi terintegrasi antara sektor pariwisata, industri manufaktur, serta pusat bisnis di jalur Jakarta-Bandung dan kota-kota yang dilewati.

Dari sisi fiskal, menurut Rizal, keterlibatan APBN seharusnya menjadi opsi terakhir dan bersifat bersyarat. Pemerintah bisa menerapkan mekanisme fiscal firewall, yakni batasan tegas agar risiko utang tidak langsung membebani neraca fiskal. "Kemudian, dikelola melalui lembaga khusus yang berorientasi pada pemulihan pendapatan (revenue recovery)," jelasnya.

Tanpa reformasi tata kelola dan pembagian risiko yang jelas antara pemerintah, BUMN, dan investor, proyek ini berpotensi terus menjadi beban tanpa arah penyelesaian. Karena itu, tegas Rizal, penyelesaian utang kereta cepat bukan hanya soal siapa yang membayar, tetapi bagaimana menjadikan proyek ini memiliki nilai tambah (value creation) nyata bagi perekonomian nasional.  (H-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |