LPEM FEB UI: Dana Rp200 Triliun di Bank Bukan Obat bagi Ekonomi Lesu

2 days ago 8
 Dana Rp200 Triliun di Bank Bukan Obat bagi Ekonomi Lesu Associate Director, Head of Macro, Financial & Political Economy LPEM FEB UI Jahen Fachrul Rezki.(Dok. MI)

LEMBAGA Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di perbankan bukanlah solusi utama untuk mengatasi kondisi ekonomi yang sedang lesu.

Associate Director, Head of Macro, Financial & Political Economy LPEM FEB UI Jahen Fachrul Rezki berpandangan, kebijakan tersebut memang berpotensi memperkuat likuiditas perbankan, namun tantangan terbesar saat ini justru terletak pada lemahnya permintaan masyarakat dan terbatasnya daya dorong dari sisi konsumsi maupun investasi.

"Masalah utama bukan terletak pada sisi pasokan dana di perbankan, melainkan pada lemahnya permintaan di dalam negeri," ujarnya dalam Virtual Talk Show 'Indonesia’s Cabinet Shakeup: Implications for Governance, Markets, and Political Dynamics, Jumat (12/9).

Ia menilai jika pemerintah hanya menambah suntikan dana ke sektor perbankan, sementara permintaan masyarakat lemah, maka dana itu hanya akan diparkir dan tidak tersalurkan optimal.

"Bank mungkin akan menggunakannya untuk pembelian kebutuhan jangka pendek, bukan mendorong ekspansi,” ucapnya.

Ia menegaskan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas belum optimal karena kondisi ekonomi dan infrastruktur belum mendukung. Alhasil, banyak pekerjaan yang tercipta justru di sektor jasa dengan produktivitas rendah.

Menurutnya, solusi yang diambil pemerintah saat ini tidak menjawab akar persoalan ekonomi. Jika hanya menambah likuiditas, sementara masyarakat enggan mengambil kredit, maka yang terjadi justru tekanan inflasi tanpa diiringi pertumbuhan nyata.

Jahen menyoroti dua isu utama terkait penempatan dana pemerintah di Himbara yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pertama, alokasi sumber daya harus lebih diarahkan ke sektor produktif, bukan ke program yang dinilai kurang memberikan dampak. Pemerintah juga perlu meningkatkan investasi pada infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia agar membangun kepercayaan publik sekaligus menarik minat investor.

Kedua, Jahen menekankan pentingnya menjaga independensi Bank Indonesia. Ia mengingatkan agar kebijakan fiskal tidak terlalu menguasai ruang gerak Bank Indonesia, karena hal itu bisa menimbulkan risiko besar terhadap stabilitas makroekonomi.

“Kita pernah merasakan krisis 1998 akibat kondisi serupa, dan tentu tidak ingin mengulanginya,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menyinggung masalah biaya tinggi dalam dunia usaha. Data LPEM UI menunjukkan 60% perusahaan besar kini harus membayar pungutan tambahan hanya untuk memperoleh izin usaha. Hal ini dianggap membebani usaha kecil. Praktik seperti ini diyakini mengurangi kepercayaan investor dan menjadi salah satu penyebab menurunnya arus investasi asing langsung (FDI) hingga 7% dibanding sebelumnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |