Literasi Keuangan Kikis Judol dan Pinjol Ilegal, Hingga Perkuat Ekonomi Desa

4 hours ago 2
Literasi Keuangan Kikis Judol dan Pinjol Ilegal, Hingga Perkuat Ekonomi Desa Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang menjadi Desa Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI).(MI/Liliek Dharmawan)

HAMPARAN sawah hijau terlihat di jantung Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di tengah bentangan itu, sebuah jalan membelah area persawahan, diiringi gemericik air jernih yang mengalir deras dari utara ke selatan. Suasana pedesaan yang asri itu menjadi latar dari Svarga Mina Padi, destinasi wisata yang lahir dari inisiatif warga desa dan dikelola oleh para pemuda.

Panembangan merupakan desa yang cukup jauh dari pusat Kota Purwokerto dengan jarak sekitar 20 kilometer (km) melewati jalanan desa beraspal mulus. Untuk masuk ke destinasi wisata itu, pengunjung tidak ditarik tiket masuk. Hanya ada biaya parkir, sepeda motor ditarik Rp2 ribu, sedangkan mobil Rp5 ribu.

Di sepanjang jalan masuk sekitar 1 km, kanan kiri ada sawah. Sedangkan di sejumlah titik ada gazebo-gazebo dengan model rumah panggung sehingga bawahnya tetap bisa ditanami padi. Lanjut berikutnya ada kolam renang. Tiket masuknya murah hanya Rp5 ribu. Kemudian tubing kecil dengan tarif Rp10 ribu dan tubing besar Rp25 ribu. Air yang mengalir dari Sungai Prukut dan Sukan yang berhulu di lereng selatan Gunung Slamet sangat bersih. Derasnya air memacu adrenalin para pengunjung yang ikut tubing. 

Meski cukup jauh dari kota, tetapi wisatawan yang datang tidak perlu takut kalau tak membawa uang cash. “Di sini bisa dengan QRIS, sehingga bagi orang dari luar kota yang datang tak perlu khawatir. Tinggal scan, klik, selesai,” kata Aziz, 20, salah seorang pengelola dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Panembangan kepada Media Indonesia pada Jumat (24/10).

Dengan adanya QRIS, maka tidak perlu repot harus menyediakan pengembalian. Di sisi lain, keuangan juga lebih transparan. “Kalau menggunakan QRIS, kan terdata semua transaksinya. Kami menggunakan QRIS karena Panembangan merupakan desa Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI),” katanya.

Aziz merupakan salah satu pemuda desa yang tidak perlu ke luar kota untuk mencari kerja. Ia bersama puluhan pemuda lainnya bertahan di Panembangan untuk mengurus wisata desa. “Saya pernah merantau ke Bekasi dan Karawang, tetapi ternyata tidak betah. Sebetulnya sudah mencoba untuk bertahan, namun hanya sekitar dua bulan saja. Akhirnya saya kembali ke desa. Alhamdulillah, saya bisa bekerja di kampung sendiri,” katanya.

Ketua Pokdarwis Panembangan Galih Primasatya mengatakan para pengelolanya rata-rata anak muda. Yang organik di Pokdarwis hanya sekitar 10 orang, tetapi ada sejumlah pekerja yang aktif di lingkungan wisata. “Belum lagi kalau pengunjung ada yang minta outbond. Kami telah memiliki tim khusus outbond yang berasal dari desa ini juga. Intinya, kami ingin menjadikan Svarga Mina Padi sebagai pusat ekonomi baru di desa,” ujarnya.

Setiap bulan, lanjutnya, pengunjung sudah cukup banyak. Mereka datang tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak dan orang tua. Mereka tinggal memilih apa yang diinginkan, misalnya kalau hanya ingin santai dengan melihat hamparan sawah dan perbukitan ada gazebo. Anak-anak yang ingin bermain air ada kolam renang dan tubing.

“Dalam sebulan, jumlah pengunjung ke destinasi wisata kami berkisar antara 3.000 hingga 5.000 pengunjung. Jumlah pengunjung terbanyak biasanya pada akhir pekan dan hari libur. Kami terus berusaha untuk berbenah sehingga destinasi wisata makin menarik serta semakin jadi magnet pengunjung,” tambahnya.

Kepala Desa (Kades) Panembangan Untung Sanyoto mengatakan bahwa inisiatif membangun desa dimulai dari pemetaan potensi yang ada. “Saya bersama warga telah belajar di sejumlah tempat wisata desa yang inspiratif. Misalnya saja di Ponggok dan Wunut di Klaten. Kemudian juga di Pujon, Malang. Kami betul-betul belajar, bagaimana mereka dapat memanfaatkan potensi desanya untuk tujuan wisata dan berhasil. Inilah yang kemudian menggugah kami untuk mengembangkan di Panembangan,” jelasnya.

Meski masih belum setara dengan Ponggok atau Wunut, tetapi Panembangan telah memiliki roadmap ke sana. “Walaupun masih kecil, tetapi telah mampu menyerap tenaga kerja dari para pemuda desa. Kalau ditotal, ada 27 yang bekerja. Meski kebutuhan rata-rata hanya 16-17 pekerja. Mereka bekerja di sini, sebagian dulunya pernah merantau,” ujarnya.

Selain itu, lanjut kades, selain terus memperbaiki infrastruktur, pihaknya juga adaptif terhadap perkembangan teknologi, salah satunya adalah QRIS. “Kebetulan, tahun ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Purwokerto menggelar program EKI di Panembangan. Jelas saja, sangat bermanfaat bagi kami. Pengelola wisata dan pelaku UMKM diberi sosialisasi mengenai literasi keuangan. Dan pengelola wisata juga sudah menerapkan teknologi dengan QRIS. Ini sangat penting, karena pelaporannya sangat transparan,” katanya.

Kades mengatakan pengembangan wisata di desanya dilakukan untuk mengangkat pendapatan asli desa (PADes). Ia berharap, jangan sampai Panembangan hanya bergantung pada Dana Desa (DD) saja.

“Kalau hanya bergantung pada DD, tentu pembangunan desa akan terbatas. Maka kami terus berusaha untuk menggali potensi di desa kami. Dalam beberapa tahun terakhir, kami juga mendapat dana CSR dari berbagai lembaga. Terakhir OJK yang menggandeng Benih Baik memberikan bantuan 500 bibit durian. Tentu ini sangat berguna bagi warga. Sebagai upaya untuk meningkatkan ekonomi desa,” ujar dia.

Nantinya, Panembangan diharapkan juga menjadi desa sentra durian yang menyokong perkembangan wisata desa. “Untuk wisata desa, tahun ini optimistis bisa mendatangkan pendapatan asli desa hingga Rp 500 juta. Hingga Oktober ini, sudah masuk kisaran Rp 300 juta. Kami yakin wisata akan berkembang jika ditopang dengan berbagai sektor lainnya seperti pertanian, perikanan, UMKM, dan lainnya,” katanya.

Dijelaskan oleh kades, ada dua lokasi kuliner yang kini berkembang di kompleks wisata Svarga Mina Padi. Di kompleks wisata, menyerap sekitar 20 pelaku usaha. Sedangkan titik lainnya berada di Taman Prayadita yang satu lokasi dengan lapangan. Di sampingnya ada juga kafe yang mempekerjakan anak-anak muda. 

“Pada hari-hari biasa, ada 20-30 pelaku usaha yang aktif, sedangkan pada akhir pekan dan hari libur atau ada event di lapangan bisa sampai 60 pelaku usaha. Jadi ini sudah membentuk ekosistem ekonomi desa. Apalagi sebagian dari mereka sudah memiliki fasilitas QRIS,” kata kades yang sebelumnya adalah seorang guru tersebut.

Menurut Untung, sebetulnya ikon pengembangan ekonomi paling awal adalah mina padi dan Desa Panembangan menjadi Smart Fisheries Village (SFV). “Sebagai SFV, Panembangan mempunyai petani-petani yang mengembangkan mina padi. Hingga kini, lahan mina padi berkisar antara 3-4 hektare. Mina padi bisa mendongkrak pendapatan Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu setiap kali panen untuk luasan sekitar 1.750 meter persegi (m2). Hasil ini di luar panenan padi,” jelasnya.

Ia mengakui mina padi sempat cukup luas, namun kemudian sebagian langsung membuat kolam ikan sendiri di sawah, karena dirasa lebih menguntungkan. “Peralihan usaha itu menyesuaikan dengan pendapatan yang mereka terima. Kami telah belajar ke Jawa Barat terkait dengan budi daya ikan. Intinya, bagaimana seluruh warga desa bahu membahu mendukung usaha dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa,” tandasnya.

Potensi lain yang tengah dikembangkan di desa setempat di antaranya adalah budi daya madu klanceng, kebun durian, rumah gamelan, dan mandi uap. Mandi uap ala “kuda” tersebut adalah uap dari belasan rempah-rempah yang direbus dan kemudian diratakan ke seluruh tubuh. Prosesnya cepat, hanya sekitar 5 menit saja. Tetapi hasilnya sangat menyegarkan.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Purwokerto Haramain Billady mengatakan pihaknya memilih Panembangan sebagai Desa EKI karena ada beberapa sentra ekonomi yang telah berkembang. “Desa EKI merupakan program dari OJK untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui akses keuangan. Kami memilih Panembangan setelah berdiskusi dengan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang melibatkan lintas organisasi perangkat daerah (OPD) di Banyumas. Dan ternyata Panembangan telah memiliki sentra-sentra ekonomi,” jelasnya.

Haramain mengatakan dengan program Desa EKI, OJK mendorong sentra-sentra ekonomi yang telah berkembang. Di antaranya dengan mengembangkan potensi mulai dari sentuhan teknologi keuangan seperti QRIS. “Sebelum ada program EKI, QRIS belum ada. Setelah itu, ada pengadaan QRIS. Ini tidak saja mempermudah pembayaran, tetapi juga membuka akses pembiayaan dari perbankan. Sebab, kalau transaksinya menggunakan QRIS, maka akan tercatat secara otomatis. Sehingga perbankan tidak ragu-ragu menggelontorkan permodalan sesuai dengan omzet yang ada,” paparnya.

Menurut Haramain, program EKI yang telah berjalan sejak Juni dan berakhir Oktober ini, telah berdampak positif bagi masyarakat setempat. “Karena kami tidak hanya memberikan sosialisasi mengenai inklusi keuangan semata, melainkan juga memberikan pendampingan non-keuangan. Misalnya soal pemasaran, peningkatan pengemasan produk, edukasi budi daya pertanian dan perikanan serta lainnya,” tambahnya.

Kikis Pinjol Ilegal
Di balik giatnya warga Desa Panembangan menjadi pelaku usaha, ada kisah gelap yang pernah terjadi. Ternyata sebagian warga ada yang terjerat dengan judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) ilegal.

“Saya pernah menjadi korban pinjol ilegal. Waktu itu, saya meminjam Rp2 juta, tetapi ternyata bisa sampai belasan juta. Itu adalah pengalaman pahit masa lalu. Untungnya saya dibantu sama saudara, sehingga bisa terbebas dari pinjol ilegal,” ungkap salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Desa Panembangan Dwi Respatiningrum mengakui bahwa ada sejumlah warga desa yang terjerat pinjol ilegal. Selain pinjol ilegal, juga ada yang meminjam ke bank ucek-ucek atau rentenir. “Yang tak kalah bahaya adalah judol. Ini juga sangat membahayakan warga jika mereka tidak diberi pemahaman,” kata Dwi yang menjadi salah satu pendamping warga dalam program EKI di desa setempat.

Dengan adanya program EKI, maka warga mendapat sosialisasi mengenai literasi keuangan. Bagi pelaku usaha, ada literasi penggunaan teknologi seperti QRIS serta bagaimana mengakses perbankan dengan bunga wajar. “Adanya literasi keuangan ini membuka pengetahuan dari warga. Bagi mereka yang menginginkan permodalan, jadi tahu bagaimana mengaksesnya sekaligus persyaratannya. Akses keuangan ini tentu saja sangat diharapkan oleh warga,” kata dia.

Kades Panembangan Untung Sanyoto juga mengakui literasi keuangan akan membukakan pemikiran warga mengenai bahayanya pinjol ilegal. “Saya tidak menutup mata, karena ada laporan mengenai warga yang terlilit utang pinjol. Bahkan, dia harus rela menjual tanah untuk menutup utang-utangnya. Tidak perlu saya sebut namanya, tetapi itu kenyataan yang terjadi,” ungkapnya.

Lebih membahayakan lagi adalah pinjol ilegal yang kemudian dipakai untuk judol, tetapi kalah. Tentu saja, lanjut kades, hal itu akan semakin memberatkan bahkan membuat frustrasi. “Kebetulan, Panembangan jadi desa EKI sehingga masyarakat akhirnya bisa teredukasi mengenai literasi keuangan. Jadi ternyata literasi keuangan itu tidak hanya soal mengakses permodalan, namun juga mengenai bahaya judol, pinjol ilegal atau sampai penipuan dunia digital yang biasa disebut scam,” kata kades.

Warga, lanjut kades, terperangah ketika ternyata aliran dana, apalagi terkait judol bisa terpantau oleh lembaga berwenang. “Waktu ada sosialisasi, banyak yang terkejut, karena warga baru tahu ada pemantauan aliran dana. Apalagi jika digunakan untuk judol. Yang lebih membuat warga kaget adalah apabila ada indikasi ke judol, bagi mereka yang mendapat bantuan-bantuan sosial dari pemerintah bisa diputus. Selama ini mereka kan tidak tahu. Jadi setelah ada literasi keuangan, mereka akhirnya menyadari. Semoga saja ini mampu membuat kapok untuk tidak lagi terjerumus bermain-main judol,” tegasnya.

Kepala OJK Purwokerto Haramain mengatakan pinjol ilegal, judol, kejahatan keuangan atau scam menjadi bagian dari edukasi untuk masyarakat di Desa Panembangan. “Jadi dalam pelaksanaan program EKI, ada tujuh sesi edukasi. Dalam setiap pekan ada satu atau dua sesi, tergantung jadwalnya. Masing-masing sesi, ada dua topik yang diberikan. Beberapa di antaranya adalah soal scam, pinjol ilegal dan judol. Ini penting, karena masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan,” katanya.

Sementara Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengingatkan kepada masyarakat luas untuk mewaspadai praktik-praktik curang dan kejahatan di dunia digital. Pasalnya, OJK mencatat total kerugian masyarakat yang dilaporkan akibat praktik scam mencapai Rp 7 triliun. “Kami mencatat lebih dari 487 ribu rekening terlibat dalam kasus ini, dan sebanyak 94 ribu rekening berhasil diblokir dengan total dana terselamatkan sebesar Rp 376,8 miliar. Laporan kerugian tersebut berasal dari lebih dari 299 ribu aduan masyarakat yang diterima oleh Indonesia Anti-Scam Centre (IASC),” jelasnya saat berdiskusi dengan media di Purwokerto.

Friderica menjelaskan modus penipuan keuangan kini semakin beragam dan memanfaatkan celah literasi digital masyarakat. Bentuknya mulai dari penipuan yang mengaku lembaga resmi (fake call), investasi bodong, penawaran kerja palsu, hingga phishing dan rekayasa sosial (social engineering) melalui aplikasi pesan instan.

“Sepuluh modus terbesar yang teridentifikasi menyebabkan kerugian mencapai triliunan, dengan rata-rata kerugian per korban mencapai puluhan juta,” tambahnya.

Sebagai upaya penindakan, OJK melalui Satgas PASTI dan IASC telah melakukan berbagai langkah strategis, antara lain pemblokiran lebih dari 4.400 situs, aplikasi, dan konten ilegal, serta 117 rekening bank dan 25 ribu nomor telepon maupun WhatsApp yang digunakan dalam aktivitas penipuan. Sepanjang Januari hingga September 2025, sebanyak 1.840 entitas keuangan ilegal berhasil dihentikan, terdiri dari 1.556 pinjaman online ilegal dan 284 investasi ilegal.

Friderica menegaskan, OJK terus memperkuat kerja sama lintas sektor, termasuk dengan kepolisian dan lembaga keuangan, untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum terhadap pelaku penipuan digital. “Kami berupaya tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga mengedukasi masyarakat agar tidak menjadi korban berikutnya,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada terhadap berbagai tawaran investasi atau layanan keuangan yang menjanjikan keuntungan tidak wajar. “Jika ada pihak yang menjanjikan keuntungan tinggi tanpa risiko, hampir dapat dipastikan itu penipuan. Prinsipnya, high return always comes with high risk,” ujarnya.

Selain penipuan digital, OJK juga mencatat peningkatan aduan terhadap pinjaman daring ilegal dan perilaku tidak etis dari sejumlah pelaku usaha jasa keuangan. Data OJK menunjukkan, sepanjang 2025 terdapat lebih dari 38 ribu pengaduan, dengan 37 persen berasal dari sektor fintech dan 38 persen dari perbankan. Peningkatan literasi dan edukasi keuangan menjadi kunci utama untuk melindungi masyarakat dari jebakan keuangan ilegal. (Lilik Darmawan/E-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |