Ojol.(Antara.)
ANGGOTA DPR Komisi V Adian Napitupulu mengungkapkan bahwa hasil diskusi dengan tiga perusahaan aplikator transportasi daring dan tiga asosiasi pengemudi ojek online membuka fakta mengejutkan. Misalnya, biaya tetap atau cost per action (CPA) untuk satu kali layanan jemput-antar ternyata amat kecil, hanya Rp186 sampai Rp204 per perjalanan. Angka itu bahkan sudah termasuk biaya penggunaan Google Maps.
“Selama ini aplikator membangun narasi seolah Google Map berbiaya tinggi,” ujar Adian dalam keterangannya kepda media, Kamis (30/10).
Keraguan atas angka itu terjawab saat data biaya Google Map berbayar dipaparkan. Untuk berlangganan dengan sepuluh juta pengguna per bulan, aplikator hanya perlu membayar antara Rp17 hingga Rp50 per perjalanan, tergantung jenis layanan peta yang dipilih.
“Angka itu menampar logika narasi lama para aplikator,” kata Adian yang hadir pada diskusi tersebut.
Perhitungan itu belum memasukkan biaya overhead, pemasaran, dan pemeliharaan yang berbeda-beda di setiap perusahaan, tergantung pada struktur gaji dan strategi promosi mereka.
Adian kemudian menghitung ulang dengan memasukkan ketiga komponen tersebut. Hasilnya, total biaya operasional per perjalanan hanya sekitar Rp600. “Angka itu sudah termasuk semua biaya umum,” katanya.
Perhitungan sederhana itu, menurut Adian, justru memperlihatkan betapa tipisnya alasan aplikator ketika berdalih soal mahalnya biaya operasional untuk menekan pendapatan mitra pengemudi.
Lalu berapa keuntungan bersih yang dinikmati perusahaan? Dari setiap perjalanan roda dua, aplikator memotong 15 persen ditambah 5 persen dari pendapatan pengemudi, mengambil biaya jasa aplikasi Rp2.000, asuransi Rp1.000, dan biaya hijau Rp500. Total tambahan pungutan di luar potongan komisi mencapai Rp3.500 per perjalanan.
“Semua dibungkus dengan berbagai istilah, tapi tanpa kejelasan dasar hukum,” kata Adian.
Ia memberi contoh konkret, dari satu perjalanan bernilai Rp12.000, aplikator memperoleh Rp5.900. Setelah dikurangi biaya tetap sekitar Rp600, laba bersihnya mencapai Rp5.300 per transaksi. Dengan 3,3 juta transaksi per hari, keuntungan bersih harian bisa menembus Rp17,5 miliar atau sekitar Rp6,4 triliun per tahun, hanya dari layanan penumpang.
“Belum termasuk pengiriman makanan dan barang,” ujar Adian menekankan.
Namun, sebagian besar laba besar itu tak tinggal di Indonesia. Menurut Adian, keuntungan yang diperoleh para aplikator 'dibawa' ke luar negeri oleh para pemodal besar seperti SoftBank (Jepang), Sequoia Capital dan Google Alphabet (Amerika Serikat), serta Alibaba dan Tencent (Tiongkok).
Ia menilai kondisi ini memperlebar kesenjangan sosial dan menciptakan ketimpangan ekonomi. “Negara harus mengontrol keserakahan agar dunia usaha berkeadilan, bukan hanya bagi pengusaha tapi juga bagi rakyat, terutama para driver online,” tutup Adian. (Cah/P-3)


















































