Anak-anak dari Kampung Pemulung, Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, bersiap untuk belajar.(Dok.Lanny Koroh)
PULUHAN anak keluar dari deretan gubuk di Kampung Pemulung, sebuah kawasan di lereng bukit Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (20/9) pekan lalu.
Ada yang berlari. Ada yang berjalan sambil menuntun adik-adik kecil mereka di halaman berbatu. Di antara mereka tampak Olivia Saluk, 11, menggandeng tangan adiknya, Orflan, 5, menyambut kedatangan dosen Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang, Lanny Koroh. Lanny datang bersama dua mahasiswanya, Yusiska Engelina Baba dan Stefania Labina.
Lanny sudah tujuh tahun menjadi guru bagi anak-anak di kampung itu. Sementara itu, Yusiska dan Stefania baru bergabung sejak 2023. Dari awalnya hanya 20 anak, murid-murid yang mereka ajar kini meningkat menjadi 50 anak, mulai dari siswa PAUD, SD, SMP hingga SMA.
Sore itu, seperti rutinitas akhir pekan, anak-anak duduk di terpal sederhana di bawah pohon rindang. Di ruang belajar terbuka itu mereka menulis mimpi besar yang ingin dicapai di masa depan.
DARI KETERBATASAN
Sebelumnya, Lanny sempat menata sebuah ruangan kecil dengan seng bekas agar anak-anak bisa belajar lebih nyaman. Namun, musim panas dengan suhu 30-35 derajat celcius membuat mereka tak betah berlama-lama di dalam ruangan itu. Akhirnya, halaman terbuka menjadi ruang belajar yang penuh keceriaan.
Kampung Pemulung, yang hanya satu kilometer dari Kantor Wali Kota Kupang, ramai setiap Sabtu sore dengan tawa dan semangat belajar. Anak-anak belajar Bahasa Inggris, membaca, menulis, mewarnai, hingga membuat kotak pensil dan vas bunga dari barang bekas.
“Sekarang saya sudah bisa berbicara dalam Bahasa Inggris meski belum lancar,” kata Olivia sambil memperkenalkan diri dengan percaya diri. Ucapannya disambut tepuk tangan teman-temannya. “Kamu hebat!” seru Desi Koebanu, 11, sahabat Olivia yang juga ikut memperkenalkan diri dalam Bahasa Inggris.
Olivia lahir di Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, sekitar 165 kilometer dari Kota Kupang. Empat tahun lalu, orang tuanya membawa Olivia dan adik-adiknya ke Kupang untuk mencari kehidupan lebih baik. Seperti 19 keluarga lain di kampung itu, ayah dan ibunya bekerja sebagai pemulung untuk menghidupi keluarga.
Di tengah kondisi serba terbatas, sekolah kerap diabaikan. Anak-anak lebih memilih membantu orang tua mereka memulung ketimbang duduk di bangku kelas. Ada yang terkendala seragam, sepatu, atau ongkos transportasi. Tak jarang, siswa SMP pun masih kesulitan membaca.
CAHAYA DARI RELAWAN
Kalau saja Lanny, yang pakar linguistik UCB ini tidak tergerak hati untuk berbagi, mungkin Kampung Pemulung tak akan ramai setiap Sabtu sore.
“Motivasi utama saya adalah membuka akses literasi, terutama Bahasa Inggris, bagi anak-anak yang jauh dari fasilitas pendidikan. Literasi jangan hanya dinikmati anak-anak dari keluarga mampu. Anak-anak pemulung juga berhak mendapat kesempatan yang sama,” tutur Lanny.
Sejak 2018, Lanny bersama tim relawan yang seluruhnya mahasiswa berkeliling ke berbagai lokasi, termasuk panti asuhan, sebelum akhirnya memusatkan perhatian di Kampung Pemulung. Kegiatan belajar berlangsung dari pukul 15.00 hingga 17.30 Wita, dilengkapi sesi berbagi makanan, mulai dari bubur kacang hijau, permen, hingga merayakan ulang tahun anak-anak.
Jerih payah itu akhirnya diketahui Astra Indonesia melalui media sosial. Mereka memberikan bantuan sembako untuk anak-anak. Pada 2020, Lanny meraih apresiasi Satu Indonesia Award bidang Pendidikan dari Astra, sebuah pengakuan atas dedikasi yang telah ia lakukan.
Bagi Lanny, tantangan terbesar bukan hanya soal fasilitas, melainkan pola pikir dan kondisi sosial keluarga. Karena itu, ia bersama tim memilih pendekatan yang sabar, kreatif, dan penuh ketulusan.
“Tujuan utama tetap sama, yakni membuka akses literasi, menumbuhkan percaya diri, serta menuntun anak-anak merajut mimpi meski dalam keterbatasan,” ujarnya.
MENYALAKAN ASA
Kini, relawan yang mendampingi anak-anak di Kampung Pemulung sudah bertambah menjadi 20 orang. Mereka melanjutkan misi yang sama yakni mengajarkan membaca, menulis, berhitung, Bahasa Inggris, hingga kegiatan kreatif lain.
Sama seperti Olivia, Desi pun merasakan manfaatnya. “Enak sekali belajar di sini. Kalau salah, guru-guru langsung bantu perbaiki,” ujarnya polos.
Dari pengalaman itu, Olivia dan Desi sama-sama mengerti bahwa belajar bisa dilakukan di mana saja, tidak harus di sekolah. Mereka adalah potret nyata anak-anak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang tetap berjuang mengejar pendidikan.
Di tengah keterbatasan, mereka menyimpan mimpi besar. Olivia ingin fasih berbahasa Inggris agar bisa berbicara dengan orang asing, dan Desi senang berhitung dan menulis. Keduanya percaya, belajar adalah pintu menuju peluang yang lebih luas.
Semangat anak-anak ini tak lepas dari peran Lanny Koroh, relawan yang dengan tekun mendampingi mereka setiap akhir pekan. Atas dedikasinya, Lanny menerima apresiasi dari Astra, penghargaan yang tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga suluh harapan bagi anak-anak pemulung di Kupang.
“Apresiasi ini bukan hanya untuk saya, tapi untuk semua anak-anak di sini. Mereka alasan saya bertahan dan terus berjuang,” ucap Lanny penuh haru.
Senja mulai turun di Kampung Pemulung. Satu per satu anak-anak merapikan terpal, buku dan alat tulis. Tawa mereka masih terdengar di sela-sela gubuk sederhana.
Di sanalah Lanny Koroh berdiri, menyaksikan anak-anak yang kini berani bermimpi lebih tinggi. Apresiasi dari Astra, bukanlah akhir perjalanan, melainkan pengingat akan secercah kepedulian bisa menyalakan harapan besar.(E-2)


















































