
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai tindakan Komandan Satuan Siber (SatSiber) TNI, Brigadir Jenderal (Brigjen) Juinta Omboh Sembiring, yang mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi terkait dugaan tindak pidana yang melibatkan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, adalah bentuk pelanggaran kewenangan militer. Menurut ICJR, kehadiran aparat militer dalam urusan hukum sipil bertentangan dengan konstitusi dan dapat membahayakan demokrasi serta hak asasi manusia (HAM).
“ICJR menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Satuan Siber TNI jelas melampaui kewenangannya,” kata peneliti ICJR, Iqbal, dalam keterangannya pada Selasa (9/9).
Iqbal menekankan bahwa peran TNI telah diatur secara tegas dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa TNI memiliki tugas utama mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara.
“Artinya, TNI bukanlah aparat penegak hukum dan tidak boleh mengurusi dugaan tindak pidana sipil,” ucapnya.
Ia juga menyoroti bahwa dalam konteks siber, peran TNI dibatasi pada sektor pertahanan.
“Dalam konteks Satuan Siber, Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa peran TNI dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber adalah menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan, bukan berpatroli untuk mencari-cari ada atau tidaknya dugaan tindak pidana,” jelas Iqbal.
Lebih lanjut, Iqbal menyatakan bahwa tindakan Brigjen J.O Sembiring bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidikan dalam konteks dugaan tindak pidana adalah kewenangan penyidik Polri yang telah diatur dalam KUHAP, dan tak ada peran dari TNI.
Lebih lanjut, ICJR juga mengingatkan bahwa campur tangan militer dalam urusan sipil dapat membuka jalan kembali ke masa lalu yang otoriter.
“Kami menekankan dalam hal ini, TNI seharusnya cermat dalam melihat situasi dan perlu untuk kembali membaca dengan seksama tugas serta perannya dalam setiap peraturan perundang-undangan,” ujar Iqbal.
Ia menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh SatSiber TNI tersebut merupakan “ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia.”
Sebagai tanggapan atas insiden ini, ICJR mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan.
“ICJR mendorong Presiden untuk merespons permasalahan ini agar ketidakjelasan terkait batas kewenangan TNI tidak berlarut,” pungkasnya.
Sebelumnya, JO Sembiring mengaku berkonsultasi dengan jajaran polisi di Polda Metro Jaya pada Senin (8/9). Dari hasil diskusi, ada dugaan pidana yang dilakukan oleh Ferry Irwandi.
“Konsultasi kami ini terkait dengan kami menemukan beberapa fakta-fakta dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh saudara Ferry Irwandi," kata JO Sembiring kepada wartawan pada Senin (8/9).
Dia menjelaskan, dugaan itu diketahui setelah tim patroli siber melakukan penelusuran. Namun, JO Sembiring belum berkenan membeberkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Ferry Irwandi.
“Nanti kan ada penyidikan, nanti biar kita lanjutkan. Sebagai warga negara yang taat dengan hukum, kami tentunya mengedepankan hukum, sehingga atas dugaan tindak pidana tersebut Kami akan melakukan langkah-langkah hukum,” imbuhnya.
Sebelum menempuh langkah hukum, JO Sembiring mengaku sudah mencoba menghubungi Ferry. Namun, tak pernah berhasil.
“Saya coba konsultasi, karena dia berbicara masalah algoritma dan lain-lain, Saya sebagai Dansatsiber juga memiliki hal seperti itu. Saya coba kontak, staf saya suruh, tidak bisa,” tandas Sembiring. (E-3)