Ilustrasi(Antara)
Indikasi adanya praktik mafia dalam pengaturan kuota impor di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali berdengung. Pasalnya, ekosistem industri tekstil, mulai dari hulu hingga hilir terus mengalami keterpurukan, meskipun adanya penindakan impor ilegal dari pihak pemerintah.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyatakan, praktik mafia kuota impor telah menimbulkan kerugian ekonomi serius. Pasalnya, kondisi ini membuat puluhan perusahaan tekstil gulung tikar dan ratusan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian.
"Kerugian ekonomi jelas. Contoh, impor kain tahun 2016-2017 hanya 500 ribu ton. Sekarang hampir 1 juta ton, dua kali lipat. Akibatnya, industri kain mati," ungkap Redma dikutip pada Kamis (25/9).
Ia mencatat, sepanjang 2023-2024 terdapat 60 perusahaan tekstil yang tutup, dan jika dihitung sejak 2017 jumlahnya bisa mencapai 80 hingga 100 perusahaan, yang berdampak kepada sekitar 300-400 ribu pekerja mengalami kehilangan pekerjaan.
"Pajak PPN juga pasti turun. Jadi secara makro, kerugiannya besar," tutur Redma.
Dirinya turut menyampaikan bahwa pihaknya telah berulang kali meminta transparansi soal data impor per perusahaan. Namun, Kemenperin disebut selalu menolak dengan alasan kerahasiaan perusahaan.
"Impor masing-masing perusahaan nggak pernah dibuka," tuturnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Majelis Rayon Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Agus Riyanto menyebutkan, oknum pejabat di Kemenperin bukan sekadar terlibat, melainkan menjadi pemeran utama dalam permainan kuota impor yang berlangsung.
"Mereka bukan sekadar terlibat, mereka itu pemeran utama (kuota impor ilegal). Dan ini bukan impor (produk) ilegal saja. Yang ilegal itu kuota impornya," ujarnya.
Agus menjelaskan, sekitar 22 perusahaan menerima jatah kuota impor dalam jumlah besar, padahal sebenarnya hanya dimiliki oleh 3-4 orang. Kuota yang berlebih itu bahkan disebut diperdagangkan kembali, termasuk ke perusahaan logistik, meski secara aturan tidak boleh dipindah tangan.
"Perusahaan lain kalau minta 1.000 ton, paling dikasih 300 ton, hanya 30%. Tapi yang 22 perusahaan ini bisa dapat sampai 10 kali lipat dari kapasitasnya. Kuotanya bahkan diperjualbelikan," kata dia.
Menurut Agus, praktik ini telah berlangsung lebih dari lima tahun, sejak 2017, dengan berbagai modus yang terus berganti. Mulai dari menggunakan izin perusahaan yang sudah bangkrut, hingga mendirikan perusahaan baru tanpa fasilitas produksi nyata.
Bahkan, ada perusahaan dengan kapasitas 1.000 ton yang mengklaim 5.000 ton, atau mengakui satu mesin seolah dimiliki beberapa perusahaan dalam grup. "Pemainnya tetap itu-itu saja, tiga atau empat orang. Perusahaannya banyak, 20-an, tapi pemiliknya ya cuma mereka," tuturnya.
Agus juga menyinggung sikap Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita yang dianggap tidak peka terhadap isu tersebut. Karenaya, dia menilai upaya pembenahan birokrasi harus tegas menyentuh kementerian terkait.
Presiden Prabowo Subianto pun diminta untuk memonitor aktivitas pemberian kuota impor Kemenperin ke perusahaan, bahkan agar tidak segan-segan melakukan reshuffle menteri. (E-3)


















































