
ANGGOTA Komisi Informasi Pusat (KIP) 2017-2022 Romanus Ndau mengkritik keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Nomor 731/2025 yang menutup akses publik terhadap 16 dokumen pencalonan presiden dan wakil presiden termasuk dokumen ijazah selama lima tahun. Menurutnya, keputusan KPU tersebut merupakan ancaman serius bagi keterbukaan informasi dan menyuburkan rezim ketertutupan.
"Ini lebih buruk dari rezim otoriter sekalipun," kata Romanus melalui keterangannya, Selasa (16/9).
Romanus mengatakan keputusan KPU tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan sebagai hak asasi fundamental. Ia mengatakan keterbukaan informasi merupakan nyawa dari demokrasi.
Selain itu, ia menilai keputusan KPU bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 2 UU KIP, yakni informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan dan dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh badan publik terkait penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Romanus juga menyoroti rujukan beleid yang digunakan KPU adalah Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurutnya, landasan hukumnya lemah dan tidak berdasar.
"Pasal tersebut mengatur informasi bersifat rahasia. Sementara terkait pejabat publik merupakan informasi terbuka yang harus dibuka tanpa persetujuan. Ini juga untuk referensi bagi pemilih dalam menentukan pilihan," katanya.
Lebih lanjut, Romanus menilai keputusan KPU ini menimbulkan kecurigaan bahwa penyelenggara Pemilu mudah diintervensi sehingga cenderung partisan dan tidak profesional.
"Keputusan ini harus dibatalkan demi menjaga demokrasi sekaligus mengembalikan muruah penyelenggara pemilu," katanya. (Faj/I-1)