
Koalisi Perempuan Indonesia menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2022-2027 tidak hanya bermasalah secara teknis, tetapi juga rapuh secara etika. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati menyatakan, kualitas penyelenggaraan pemilu tidak bisa diukur semata dari kepatuhan terhadap aturan, melainkan juga integritas moral lembaga.
Menurutnya, berbagai kasus yang menyeret jajaran KPU menunjukkan lemahnya komitmen penyelenggara pemilu dalam menjaga citra dan nilai-nilai demokrasi. Salah satunya, kasus kekerasan seksual yang melibatkan eks Ketua KPU Hasyim Asy’ari.
"Menilai kerja KPU bukan hanya berbasis bagaimana mereka secara proper menjalankan fungsi, peran, tugas dan mandat mereka secara undang-undang atau kebijakan yang berlaku. Tetapi juga berkaitan dengan etika," ujar Mike saat menyampaikan rilis pernyataan sikap penataan ulang kelembagaan pemilu #ResetKPU secara daring, Minggu (21/9).
Ia menilai sikap sejumlah komisioner KPU yang tetap mendampingi Hasyim saat menyampaikan pernyataan publik justru memperparah luka, khususnya bagi kelompok perempuan. Dukungan terbuka tersebut dianggap mencederai rasa keadilan korban serta merusak kredibilitas lembaga.
Lebih jauh, Koalisi Perempuan juga menerima laporan terjadinya kekerasan seksual di KPU daerah. Menurut Mike, korban kerap mengalami hambatan dalam melapor karena relasi kuasa, intimidasi, hingga ancaman terhadap pekerjaan dan keluarga. Kondisi itu memperlihatkan kebijakan internal KPU terkait penanganan kasus serupa belum partisipatif dan tidak melibatkan organisasi berpengalaman dalam isu kekerasan berbasis gender.
Selain masalah etika, KPU juga dinilai tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan. Contohnya, terbitnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 731 yang kemudian dicabut dalam waktu singkat tanpa alasan jelas. Bagi Koalisi Perempuan, hal itu menunjukkan proses pengambilan keputusan yang terburu-buru, emosional, dan minim partisipasi publik.
Mike menegaskan, kondisi tersebut mencerminkan KPU gagal membangun sistem penyelenggaraan pemilu yang kredibel. "Kebijakan itu kan punya aturan-aturan. Kita juga sudah punya acuan bagaimana membuat kebijakan, baik itu undang-undang sampai kebijakan lembaga negara. Ada apa sebenarnya di balik ini semua?" tuturnya.
Koalisi Perempuan mendesak Presiden dan DPR untuk segera mengevaluasi kinerja KPU, termasuk kemungkinan melaporkan anggota KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Mereka juga mendorong revisi Undang-Undang Pemilu agar proses rekrutmen komisioner lebih transparan, independen, dan berintegritas.
Menurut Mike, langkah itu penting agar pemilu mendatang tidak sekadar menjadi rutinitas prosedural tanpa perbaikan mendasar. Ia juga menekankan perlunya reformasi menyeluruh di seluruh lembaga penyelenggara pemilu, termasuk Bawaslu dan DKPP.
"Semoga ini menjadi sebuah seruan yang tidak hanya dicatat, tetapi juga dijalankan. Kami tidak ingin pemilu berikutnya hanya bual-bualan tanpa tindak lanjut dari evaluasi yang sudah lama disuarakan," pungkasnya. (Mir/P-1)