
KOMUNITAS Peduli Kebijakan Kesehatan Indonesia (KPKKI) mengajukan Amicus Curiae (Sahabat pengadilan) ke Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Ketua KPKKI, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP., menyampaikan, layanan kesehatan seharusnya merupakan hak konstitusional setiap warga justru menghadapi kelemahan akibat rumah sakit di bawah Kemenkes yang dianggap berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan mengarah ke komersil.
“Sekarang ini ada 37 rumah sakit vertikal (dikelola Kemenkes), itu ada kecenderungan bahwa layanan kesehatan di rumah sakit ini tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat,” terang dia, Senin (8/9), di Cafe Podocarpus PSP UGM.
Ia menyebut, banyak persoalan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, seperti pembebanan target pendapatan kepada dokter. Akibatnya, rumah sakit menjadi tempat yang sifatnya komersial.
Selain itu, pihaknya menyoroti lemahnya independensi organisasi profesi dan kolegium karena sebagian besar ditarik ke kewenangan Kemenkes. Standar pendidikan dokter spesialis lewat model hospital based training menurun karena tidak betul-betul mengutamakan keahlian dan profesionalisme.
Sorotan juga ditujukan pada kebijakan Surat Tanda Register (STR) yang akan diberlakukan seumur hidup tanpa evaluasi. Hal tersebut dinilai akan berisiko terhadap kualitas layanan kesehatan.
"Amicus Curiae ini diajukan sebagai sumbangsih pemikiran akademik dan profesional mengingat banyaknya persoalan menyangkut kebijakan Kesehatan," terang guru besar yang mengakar di Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM ini.
Amicus Curiae diharapkan dapat membantu Mahkamah Konstitusi RI untuk membuat keputusan yang adil, progresif, dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi kesehatan, sehingga masyarakat akan memperoleh jaminan mutu atas pelayanan kesehatan dan para dokter maupun tenaga kesehatan tetap memiliki standar kompetensi medis yang memadai serta dapat beraktivitas di dalam asosiasi profesi yang independen dan profesional.
Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Dr. Totok Dwi Diantoro, SH, MA, LLM, menambahkan, alasan diajukannya amicus curiae ini diperlukan adanya perbaikan dari sisi aspek tata kelola. Menurutnya, ada permasalahan terkait persoalan tata kelola dan juga potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
“Tata kelola dalam konteks ini berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kesehatan," kata dia. UU tersebut notabene kemudian menbuat semacam sentralisasi otoritas atau kekuasaan yang begitu eksesif di tangan Kementerian Kesehatan.
Hal itu kemudian kemudian mengaktualisasikan hal-hal yang dirumuskan di dalam berbagai ketentuan pada Undang-Undang Kesehatan 17 Tahun 2023.
Amicus Curiae yang diajukan merupakan bentuk keterlibatan publik untuk turut serta di dalam proses judicial di Mahkamah Konstitusi. “Saat ini proses tahap crossing examination di antara para pihak yang terlibat dalam proses uji materi terhadap Undang-undang ini,” jelas dia.
Penyampai pengajuan amicus curiae ini diajukan oleh 13 orang di antaranya Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP; Dr. dr. Bhirowo Yudo Pratomo, SpAn, KAKV; Prof.Dr. Sulistyowati Irianto, MA; Dr. Totok Dwi Diantoro, SH, MA, LLM.; Hasrul Halili, SH, MA.; dan Dr.dr. Rahmat Andi Hartanto, SpBS (K). Selanjutnya, Dr. Hadi Wijaya, SH, MPH, MHKes.; Prof.dr. Muhamad Thohar Arifin, SpBS, PhD; Dr. Muhammad Baharuddin, SpOG, MARS.; Tini Hadad; Indah Sukmaningsih; Medtry, ST, MT, IPM; dan Imam Ratrioso, SPsi.
Rekomendasi
Dalam Amicus Curiae tersebut, KPKKI merekomendasikan beberapa poin.
- Satu, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UU No.17/2023 menyangkut indikator kinerja para dokter dan tenaga kesehatan di rumah sakit yang mengarah kepada komersialisasi dan industrialisasi layanan kesehatan hendaknya dibatalkan. Orientasi layanan oleh rumah sakit vertikal yang di bawah kendali Kementerian Kesehatan harus dikembalikan sesuai dengan semangat untuk mencegah sakit, mengurangi penderitaan pasien, memperluas cakupan layanan serta lebih berorientasi kepada semangat untuk membantu masyarakat miskin sesuai misi kemanusiaan rumah sakit dan dunia kedokteran di Indonesia.
- Dua, Pasal 272 UU No. 17/2023 hendaknya ditafsirkan secara progresif sehingga Kolegium dipahami sebagai organ independen berbasis profesi dan lahir dari perhimpunan profesi cabang ilmu, bukan sekadar alat kelengkapan Konsil yang tunduk pada Kementerian Kesehatan. Kami juga merekomendasikan agar Pasal 707 PP No. 28/2024 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai memberi ruang intervensi penuh Menteri Kesehatan terhadap independensi kolegium.
- Tiga, peran organisasi profesi harus ditegaskan kembali sebagai mitra strategis pemerintah dalam menyusun standar pendidikan, kompetensi, dan pelatihan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Putusan MK No. 10/2017 perlu dijadikan rujukan utama untuk menegaskan bahwa kolegium adalah entitas akademik independen, bukan organ yang dapat diintervensi eksekutif secara administratif. Dengan demikian, pasal 707 PP No. 28/2024 seharusnya dinyatakan bertentangan dengan Putusan MK No. 10/2017 dan inkonstitusional bersyarat.
- Empat, Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang dilaksanakan melalui sistem berbasis rumah sakit (hospital-based) hendaknya tidak semata-mata dimaksudkan untuk mencapai target kuantitatif pemenuhan kebutuhan dokter spesialis, tetapi juga disertai dengan pengawasan sistem pendidikan yang ketat, standar kompetensi yang objektif dan lengkap, serta akuntabilitas yang kuat sehingga tercipta dokter-dokter spesialis yang berkompeten, memiliki dedikasi yang tinggi, serta mematuhi standar profesi kedokteran dan komitmen yang kuat untuk mengabdi kepada kemanusiaan. Kecuali itu, kebijakan task-shifting yang akan diberlakukan kepada dokter umum untuk menangani persalinan dan kasus-kasus tindakan medis yang kompleks harus ditinjau kembali karena akan menurunkan standar kompetensi dokter dan sebaliknya meningkatkan risiko mal-praktik dan melanggar hak rakyat atas layanan kesehatan yang profesional.
- Lima, kebijakan STR (Surat Tanda Register) seumur hidup bertentangan dengan UUD 1945, dan memerintahkan mekanisme re-sertifikasi berkala. Kebijakan ini dimaksudkan agar profesionalisme para dokter yang menangani pasien dapat dievaluasi secara berkala untuk menjamin layanan yang tepat dan mengurangi risiko mal-praktik. Evaluasi atas berlakunya STR juga harus dilakukan oleh kolegium dan asosiasi lembaga yang profesional untuk bisa menjaga objektivitas dan menjamin profesionalisme para dokter dan tenaga kesehatan.
- Enam, menegaskan bahwa organisasi profesi kedokteran (IDI, PDGI) adalah organisasi tunggal yang independen, dan kolegium profesi adalah mitra strategis negara untuk menjamin keilmuan. Selanjutnya, mahkamah agar memerintahkan supaya negara melindungi profesi kedokteran dari arus industrialisasi kesehatan, demi menjamin hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan berkeadilan. (H-2)