KPK Diminta Tegas Usut Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh

1 week ago 19
KPK Diminta Tegas Usut Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh Calon penumpang kereta cepat Whoosh bersiap memasuki kereta cepat di Stasiun Halim, Jakarta.(Antara)

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta bersikap tegas dan transparan dalam mengusut dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh

Proyek yang diinisiasi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo itu diduga mengalami penggelembungan anggaran (mark up) dan pembengkakan biaya pembangunan yang signifikan.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menegaskan bahwa KPK tidak boleh ragu dalam menentukan apakah proyek Whoosh mengandung unsur tindak pidana korupsi atau tidak. Menurutnya, langkah itu penting untuk menegakkan akuntabilitas penggunaan uang negara.

“KPK mesti berani mengambil sikap terkait apakah proyek Whoosh ini masuk kategori tindak pidana korupsi atau tidak, apalagi setelah munculnya pembengkakan biaya pembangunan,” ujar Zaenur pada Kamis (30/10).

Ia menilai, salah satu hal yang perlu disoroti adalah potensi kesalahan dalam proses perencanaan proyek yang dinilainya tidak presisi. Karena itu, KPK juga perlu memeriksa pihak-pihak yang mengambil keputusan strategis dalam proyek tersebut.

“Itu nanti kesimpulan harus diambil oleh KPK. Tetapi setidaknya yang pertama adalah si kelompok pengambil kebijakan. Bagaimana kebijakan ini diambil, apakah sesuai asas umum pemerintahan yang baik atau justru mengandung penyalahgunaan keuangan dan perbuatan melawan hukum,” jelasnya.

Zaenur mengakui, penetapan tersangka terhadap pembuat kebijakan merupakan persoalan yang sensitif. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan publik tetap dapat dipidana jika terbukti disertai niat jahat atau penyalahgunaan kekuasaan.

“Sebuah kebijakan tidak bisa langsung dikriminalisasi selama diputuskan sesuai ketentuan dan asas yang berlaku. Tapi kalau kebijakan itu mengandung niat jahat (malicious intention), ada indikasi penipuan, konflik kepentingan, atau etika buruk, maka pengambil kebijakan bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” ujarnya.

Lebih lanjut, Zaenur menjelaskan bahwa manfaat tidak berwujud (intangible benefit) yang diterima pengambil kebijakan pun dapat dikategorikan sebagai keuntungan dalam konteks korupsi, sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC).

“Apalagi kalau ada kickback atau keuntungan-keuntungan lain. Bahkan menurut UNCAC, intangible benefit itu juga termasuk sebagai keuntungan. Maka pengambil kebijakan bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana,” tegasnya.

Ia menambahkan, pengambil kebijakan tertinggi dalam proyek ini berada di level Presiden, disusul oleh Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, dan pejabat terkait lainnya.

“Siapa pengambil kebijakannya? Ya tertinggi ada di Presiden, di bawahnya ada Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, dan seterusnya,” kata Zaenur.

Menurut Zaenur, penegakan hukum terhadap dugaan korupsi proyek strategis seperti Whoosh tidak hanya penting untuk kepastian hukum, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan proyek infrastruktur nasional.

“Ini menjadi ujian bagi KPK apakah masih mampu menjaga integritasnya dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu,” pungkasnya. (Z-10)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |