
BELUM surut protes warga terhadap pemberian tunjangan perumahan anggota DPR RI, kini publik terpana dengan besaran tunjangan tersebut untuk anggota DPRD pada beberapa provinsi. Kenyataannya pada provinsi tertentu jumlah yang diterima wakil rakyatnya ternyata berada di atas Rp50 juta. Padahal kemewahan tersebut sudah mereka nikmati beberapa tahun yang lalu jauh sebelum anggota DPR RI menerima tunjangan perumahan sebagai kompensasi penghapusan fasilitas rumah jabatannya.
Penerimaan tunjangan perumahan dengan nilai fantastis melebihi anggota DPR RI menyimpang dari Peraturan Pemerintah (PP) No 18/2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Ketentuan itu secara tegas melarang besaran tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD kabupaten/kota melebihi besaran tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD provinsinya. Perbedaan tingkatan pemerintahan pada aturan ini bersifat berlaku sama (mutatis muntadis) bagi anggota DPRD provinsi di bawah tunjangan perumahan wakil rakyat di Senayan.
Keputusan rapat konsultasi pimpinan DPR RI dengan pimpinan fraksi pada 4 September 2025 mengabulkan salah satu di antara 17+8 Tuntutan Rakyat dengan menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR terhitung tanggal 31 Agustus 2025. Keputusan ini seyogianya berimbas pada penghentian pemberian tunjangan perumahan DPRD yang menggerus APBD pada saat masyarakat dililit kesulitan ekonomi.
Untuk meredakan gelombang unjuk rasa atas penolakan tunjangan tersebut pada berbagai daerah, Kemendagri dapat menginstruksikan pemda terlebih dahulu menghentikan pembayaran tunjangan perumahan tersebut. Selanjutnya dilakukan revisi terhadap peraturan kepala daerah dengan standar yang rasional dan realistis sesuai harga pasar setempat yang wajar dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah.
Peraturan gubernur (pergub) pada beberapa provinsi seperti perlombaan kemewahan APBD menghasilkan besaran tunjangan perumahan sangat fantastis. Tunjangan perumahan untuk ketua serta anggota DPRD provinsi tertentu masing-masing tercatat: DKI sebesar Rp78,8 juta serta Rp70,4 juta, Jabar sebesar Rp71 juta serta Rp62 juta, Jateng sebesar Rp79,63 juta serta Rp47,77 juta, Jatim sebesar Rp57,7 juta serta Rp49 juta, Banten sebesar Rp49,8 juta serta Rp43 juta, Bali sebesar Rp54 juta serta Rp37,5 juta, dan Sumut sebesar Rp60 juta serta Rp40 juta.
FASILITAS VERSUS PENGHASILAN
Besaran tunjangan perumahan dan transportasi tersebut memicu membengkaknya alokasi belanja APBD hanya untuk pos tunjangan saja. Perda APBD tahun 2025 mengalokasi belanja tunjangan perumahan dan transportasi masing-masing DKI Rp90,05 miliar dan Rp26,06 miliar, Jabar Rp89,53 miliar dan Rp37,38 miliar, Jateng Rp76,32 miliar dan Rp26,22 miliar, Jatim Rp59,12 miliar dan Rp24,17 miliar, serta Sumut Rp50,35 miliar dan Rp26,95 miliar. Kedua tunjangan itu menyedot dana APBD di atas Rp100 miliar pada Provinsi DKI, Jabar, dan Jateng.
PP 18/2017 sebenarnya membedakan pemberian kesejahteraan untuk anggota DPRD antara penghasilan dan fasilitas. Perumahan dan transportasi sejatinya merupakan fasilitas yang diperoleh anggota DPRD untuk memudahkan pelaksanaan fungsinya. Pemberian tunjangan hanya bersifat temporer ketika pemda belum dapat menyediakan fasilitas dimaksud. Kenyataannya, fasilitas tersebut tidak pernah diwujudkan karena penganggaran belanja APBD untuk pembangunan rumah dinas dan pengadaan mobil dinas tidak kunjung teralokasi. Praktik transaksional pembahasan APBD diduga berkontribusi menggagalkan penganggaran belanja tersebut karena menghilangkan sifat tunjangan yang mengurangi pundi-pundi mereka.
Pemberian tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi merupakan pilihan, karena keterbatasan pemda menyediakan fasilitas tersebut menjadi kontradiksi dengan besaran tunjangan melebihi dari kebutuhan belanja untuk menyediakan fasilitas dimaksud. Besaran kedua tunjangan itu menjadi bukti terjadi pemborosan APBD ketika pemda memberikan dalam bentuk uang.
Sebagai perbandingan, tunjangan dengan standar biaya satu anggota DPRD setiap bulan yang diberikan Pemprov DKI, maka alokasi APBD yang tersedia dalam dua tahun mencapai sebesar Rp1,68 miliar untuk perumahan dan Rp516 juta untuk transportasi. Adapun alokasi APBD Pemprov Jabar dalam dua tahun mencapai sebesar Rp1,49 miliar untuk perumahan dan Rp420 juta untuk transportasi. Angka tersebut membuktikan pemda terpaksa menggelontorkan dana lebih banyak apabila tidak dilakukan peninjauan ulang kelebihan besaran kedua tunjangan dimaksud.
RASIONALISASI BESARAN TUNJANGAN
Pemicu tunjangan perumahan begitu fantastis pada provinsi tertentu bukan karena terbitnya PP 18/2017 sebagai dasar kebijakan anggarannya, tetapi teknis penganggaran dengan pergub menjadi biang keladi pembelokan besaran tunjangan kesejahteraan perumahan di luar nalar. Praktik transaksional terjadi ketika legislatif mengajukan proposal besaran tunjangan tersebut secara tidak bertanggung jawab untuk memuluskan pembahasan APBD.
Padahal PP No 18/2017 tidak memberi celah bagi pemda untuk kebutuhan personal anggota DPRD menguras pundi-pundi APBD. Ketentuan ini malahan memberi arahan yang jelas penganggaran belanja tersebut dengan memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, dan standar harga setempat yang berlaku.
Penetapan besaran tunjangan perumahan mengacu pada standar luas bangunan dan lahan rumah negara, standar satuan harga sewa rumah yang layak untuk ukuran anggota DPRD, tidak termasuk mebel, listrik, air, gas, dan telepon. Ketentuan ini menyiratkan untuk fasilitas perumahan yang diberikan kepada anggota DPRD hanya rumah saja di luar pemeliharaan dan keperluan operasionalnya.
Besaran tunjangan transportasi yang dibayarkan harus sesuai dengan standar satuan harga sewa kendaraan yang berlaku untuk anggota DPRD, tidak termasuk bahan bakar, biaya perawatan, dan biaya operasional. Hal ini menegaskan, pemberian fasilitas kendaraan kepada anggota hanya sebatas kendaraannya.
Peninjauan kembali kedua tunjangan tersebut mendesak untuk dilakukan agar wakil rakyat tidak membebani APBD di tengah kesulitan hidup warga yang diwakilinya. Besarnya tunjangan rumah untuk anggota DPRD ini kontradiktif dengan realitas warga yang kian sulit memiliki hunian.
Saat ini, tercatat anggota DPRD provinsi dari 301 daerah pemilihan (dapil) sebanyak 2.372 orang, sedangkan anggota DPRD kabupaten/kota dari 2.325 dapil sebanyak 17.510 orang, suatu jumlah yang memberi beban bagi APBD kalau tidak dikelola secara bijak. Penurunan transfer dana daerah sebesar Rp269,9 triliun pada RAPBN 2026 jika dibandingkan dengan APBN 2025 akan mempersempit ruang fiskal APBD. Situasi ini jelas memengaruhi kemampuan pelayanan pemda kepada warganya yang perlu mendapat prioritas terlebih dahulu.
APBD sejatinya dirancang untuk kepentingan rakyat dan bukan untuk kemewahan para wakilnya, serta harus dirancang dengan menekankan efisiensi dan efektivitas, juga prioritas belanja untuk kesejahteraan masyarakat. Tujuan utama APBD ialah untuk mendukung pemda menyejahterakan rakyat melalui alokasi anggaran yang tepat, serta mewujudkan transparansi dan akuntabilitas APBD. Tunjangan untuk kesejahteraan anggota DPRD janganlah berubah menjadi tunjangan kemewahan wakil rakyat.