Kondisi HAM Era Prabowo, Amnesty: 5.538 Orang Korban Eksesif Aparat

4 hours ago 3
 5.538 Orang Korban Eksesif Aparat Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid(MI/Susanto)

Kondisi hak asasi manusia (HAM) setahun pemerintahan era Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengalami erosi terparah akibat maraknya kebijakan, tindakan, dan praktik-praktik otoriter. 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menjelaskan pada sektor politik, kebijakan itu ialah remiliterisasi ruang sipil dan pemerintahan, revisi UU TNI, penulisan ulang sejarah, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional, hingga Perkapolri. 

Di sektor ekonomi, ada resentralisasi, proyek strategis nasional, makan bergizi gratis, pemotongan anggaran daerah (TKD) hingga kenaikan fasilitas anggota parlemen.

“Sejak dilantik 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti untuk hak asasi, baik bebas dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan. Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi. Kebijakan yang pada masa pemerintahan lalu melanggar hak asasi justru berlanjut. Polanya sama, tanpa partisipasi aktif warga,” kata Usman dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin (20/10). 

Ia memaparkan dalam setahun terakhir, 5.538 orang jadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat lainnya saat memprotes pengesahan UU TNI pada Maret 2025, menuntut kesejahteraan buruh pada Mei 2025, dan menolak kenaikan tunjangan DPR RI pada Agustus 2025. Rinciannya, penangkapan (4.453 korban), kekerasan fisik (744 korban), dan penggunaan water canon dan gas air mata (341 korban).

Lebih lanjut, pasca demo Agustus 2025 saja, masih ada 12 aktivis yang ditahan sebagai tersangka penghasutan dan dua orang dilaporkan masih hilang. Sejauh ini, kata Usman, negara juga tidak serius mengusut jatuhnya 10 korban jiwa saat unjuk rasa Agustus lalu.

“Tim Gabungan Pencari Fakta juga batal dibentuk. Padahal itu amat penting untuk membongkar aktor yang paling bertanggungjawab. Komite Reformasi Polri juga menguap,” kata Usman.

“Bukannya mengevaluasi kebijakan, termasuk memastikan akuntabilitas polisi, Presiden malah memunculkan label negatif “anarkis”, “makar”, “asing”, bahkan “teroris” kepada pengunjuk rasa. Padahal mereka adalah mahasiswa, pelajar sekolah, pegiat literasi, dan warga biasa,” lanjutnya.

Sementara itu selain pasca demo Agustus, kasus kekerasan aparat yang tidak terkait demonstrasi juga marak terjadi. Setidaknya 119 korban kekerasan aparat. Rinciannya, penangkapan (13 orang), kekerasan fisik (93 orang), penyiksaan (27 korban), penembakan (9 orang), pemerasan (5 orang), dan pembunuhan di luar hukum (42 orang). Data ini belum termasuk kasus di Papua yang saat ini sedang diverifikasi.

Di luar penanganan unjuk rasa dan kekerasan aparat, erosi kebebasan sipil lainnya adalah serangan ke pembela HAM berlanjut, yaitu 268 kasus. Dari pelaporan ke polisi (46 korban), penangkapan (17 korban), kriminalisasi (35 korban), percobaan pembunuhan (6 korban), serangan fisik (153 korban), hingga serangan ke tempat kerja pembela HAM (11 lembaga).

Jurnalis dan pegiat adat mengalami serangan terbanyak, masing-masing 112 korban dan 81 korban. Ini termasuk teror bom molotov ke kantor media Jubi di Jayapura, Papua, pada 16 Oktober 2024, yang melibatkan militer tapi justru menguap. Di ranah digital, 14 jurnalis dan lembaga media mengalami serangan. Ini belum termasuk 20 kasus kriminalisasi yang dituduh melanggar UU ITE (26 orang korban).

Represi terus berlanjut di Papua. Ini meliputi kasus penangkapan pada April lalu di Sorong dan pengadilan pasal makar di akhir Agustus, penggunaan gas air mata yang menewaskan warga di kota Manokwari hingga penangkapan lima orang pemrotes investasi dan remiliterisasi di Kota Jayapura, 15 Oktober lalu.

“Apa pun alasannya, manusia berhak atas perlakuan manusiawi. Apalagi jika menyatakan wacana kritis di ruang sipil. Jika ada pembungkam suara-suara kritis oposisi maka yang terbangun adalah atmosfer ketakutan,” kata Usman.

Erosi kebebasan juga diwarnai diskriminasi agama, yaitu 13 kasus. Rinciannya, penyegelan rumah ibadah (7 kasus), intimidasi/pembubaran kegiatan jemaat (5 kasus), dan individu (1 kasus). Ada tiga kasus yang mayoritas korban ialah remaja dan anak; Riau (anak kelas 2 SD dilaporkan meninggal terkait perundungan SARA), Cidahu (retret siswa kristiani dibubarkan paksa) dan Padang (intoleransi pada anak-anak kasus di GKSI). Ironinya, Kementerian HAM saat itu mau ajukan penangguhan penahanan tersangka perusakan kasus Cidahu. Rencana itu batal setelah menuai kritik keras.

Terakhir, erosi hak-hak sipil juga tercermin dari vonis mati yang berlanjut. Meski Presiden telah mengutarakan secara publik ketidaksetujuannya atas hukuman mati, pengadilan negeri di Indonesia masih terus menjatuhkan vonis mati baru pada 56 terdakwa.

Lalu ada Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yang masuk dalam prioritas pembahasan DPR RI 2025. Alih-alih menghapus hukuman mati, negara justru sibuk mencari ‘cara alternatif’ untuk hukuman yang jelas kejam.

“Tidak ada bukti bahwa hukuman mati menimbulkan efek jera. Kami sejak lama mendesak Indonesia segera menghapuskan hukuman mati dan menggantinya dengan hukuman yang lebih adil dan manusiawi,” kata Usman Hamid. (Far/P-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |