Ilustrasi.(ANTARA/FAUZAN)
KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti tingginya kerentanan guru perempuan terhadap diskriminasi berbasis gender, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam hubungan kerja di lingkungan pendidikan.
“Laporan Catatan Tahunan 2024 Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan pekerja di sektor pendidikan, termasuk guru, rentan mengalami diskriminasi berbasis gender, pelecehan seksual, hingga kekerasan dalam relasi kerja,” kata Anggota Komnas Perempuan Devi Rahayu saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, bertepatan dengan peringatan Hari Guru Sedunia.
Menurut Devi, temuan tersebut menegaskan bahwa perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan guru tidak bisa dipisahkan dari upaya menghapus kekerasan berbasis gender di dunia pendidikan.
“Ironisnya, banyak guru masih berstatus honorer dengan gaji jauh di bawah kebutuhan hidup layak, bahkan di bawah upah harian buruh kasar,” ujar Devi.
Ia menilai kondisi tersebut menunjukkan lemahnya perhatian negara terhadap kesejahteraan tenaga pendidik. Padahal, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan penghidupan yang layak. Selain itu, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menegaskan hak guru atas penghasilan serta jaminan kesejahteraan sosial.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristekdikti) pada semester I tahun ajaran 2024/2025, terdapat sekitar 3,19 juta guru di Indonesia, terdiri dari 2.185.396 guru perempuan (72 persen) dan 834.384 guru laki-laki (28 persen).
“Data ini menunjukkan besarnya peran guru, khususnya perempuan, dalam menggerakkan dunia pendidikan di Indonesia. Dengan jumlah mayoritas perempuan, profesi guru juga mencerminkan ketidaksetaraan gender di dunia kerja,” kata Devi menambahkan.
Selain menghadapi ketimpangan struktural di tempat kerja, Devi menyoroti bahwa banyak guru perempuan juga menanggung beban ganda, yakni tanggung jawab profesional di sekolah sekaligus tugas domestik di rumah. Pekerjaan domestik tersebut, lanjutnya, sering kali tidak diakui sebagai bentuk kerja produktif. (Ant/I-3)


















































