Koalisi Masyarakat Sipil Desak Moratorium Kepemimpinan KPU

2 hours ago 1
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Moratorium Kepemimpinan KPU Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia.(MI/Susanto)

Dosen Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini menyatakan, kritik masyarakat sipil terhadap kinerja penyelenggara pemilu tidak boleh dipandang sebagai upaya melemahkan lembaga, melainkan bentuk kepedulian terhadap kualitas demokrasi. Menurutnya, kredibilitas penyelenggara pemilu adalah variabel utama dalam memastikan proses demokrasi berjalan sehat.

Ia mengingatkan, kelembagaan KPU, Bawaslu, maupun DKPP merupakan hasil perjuangan panjang masyarakat sipil untuk menjamin kemandirian penyelenggara pemilu sesuai amanat konstitusi. Karena itu, publik wajar merasa gelisah jika integritas lembaga tersebut dilemahkan oleh perilaku para komisionernya.

Titi menyoroti bahwa berbagai masalah KPU saat ini merupakan buah dari proses seleksi yang problematis pada 2022. Menurutnya, pemerintah dan DPR tidak bisa lepas tangan karena merekalah yang membentuk tim seleksi dan menentukan komisioner.

"Penyelenggara yang bermasalah adalah produk dari proses seleksi yang juga problematik. Kita tidak ingin KPU kita menjadi komisi permasalahan umat," tutur Titi saat menyampaikan rilis pernyataan sikap penataan ulang kelembagaan pemilu #ResetKPU secara daring, Minggu (21/9). 

Dia juga menilai solusi bukanlah memberi ruang lebih besar bagi partai politik mengisi posisi penyelenggara. Sebaliknya, seleksi harus didesain agar menghasilkan figur yang berkompeten, berintegritas, dan independen. Ia mengingatkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-XX/2022 yang menekankan rekrutmen penyelenggara harus selesai sebelum tahapan pemilu dimulai.

Lebih jauh, ia memaparkan tiga problem besar yang kini membayangi KPU. Pertama, kebijakan yang menyimpangi konstitusi, seperti pengaturan pencalonan mantan terpidana, keterwakilan perempuan, hingga periodisasi masa jabatan kepala daerah. 

Kedua, perilaku komisioner yang dianggap abai terhadap perlindungan perempuan dan menunjukkan gaya hidup hedon. Ketiga, tata kelola pemilu yang ugal-ugalan, terbukti dari sejumlah pemungutan suara ulang hingga pemborosan anggaran akibat salah kelola.

Menurut Titi, kondisi itu menjadikan KPU periode sekarang sebagai salah satu yang paling banyak merugikan negara. "Kesalahan kebijakan, penyimpangan perilaku, dan juga kesalahan tata kelola telah merugikan negara dengan sangat banyak," ujarnya.

Ia menegaskan, demi menyelamatkan demokrasi, evaluasi menyeluruh perlu dilakukan, termasuk dengan opsi moratorium keanggotaan KPU sampai ada mekanisme seleksi baru yang lebih transparan dan kredibel. Bahkan, ia menilai langkah paling terhormat yang bisa diambil komisioner saat ini adalah mengundurkan diri. (Mir/P-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |