Diskusi buku bertajuk, Suara dari Timur: Mengenang Ajoeba Wartabone dan Perjuangan Menuju Indonesia Bersatu yang digelar dalam rangkaian Ubud Writers & Readers Festival 2025, Sabtu (1/11). (MI/HO)
KETIKA Republik Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, masa depan bangsa berada dalam situasi genting. Serangan militer Belanda, manuver diplomasi, dan strategi federalisme kolonial mengancam keutuhan negara.
Di tengah tekanan tersebut, muncul suara-suara dari daerah yang ikut menopang keberlangsungan Republik. Salah satunya berasal dari Gorontalo: Ajoeba Wartabone (1894–1957), pemimpin progresif yang menegaskan sikap antipecah-belah di Indonesia Timur.
Kisah intelektual dan politik tersebut menjadi topik diskusi buku bertajuk, Suara dari Timur: Mengenang Ajoeba Wartabone dan Perjuangan Menuju Indonesia Bersatu yang digelar dalam rangkaian Ubud Writers & Readers Festival 2025, Sabtu (1/11).
Diskusi menghadirkan Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan S.U. (sejarawan Bali), Basri Amin, S.Sos., MA. (penulis buku, dosen dan peneliti), serta Isabella Roberts, ACA, MSc. (peneliti partisipasi publik dari Inggris), dipandu Maruschka Niode, dengan moderator Amanda Katili.
Menurut Amanda Katili, kegiatan tersebut mengajak publik menengok kembali kontribusi daerah dalam pembentukan Indonesia modern, narasi yang jarang mendapat panggung nasional.
“Acara diskusi buku ini menambah wawasan generasi muda tentang perjuangan daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya mencapai kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Kisah Ajoeba Wartabone, an unsung hero dari Gorontalo, mengingatkan kita pada fragmen sejarah yang kerap terabaikan dalam narasi perjuangan nasional. Diskusi ini membuka khazanah pemikiran lintas generasi,” ungkap Dosen FISIP Universitas Udayana Ni Wayan Wahyuni S.H.Int., M.A. yang hadir pada acara tersebut bersama para mahasiswanya.
Diskusi tersebut mengupas buku biografi setebal 450 halaman terbitan Diomedia, yang berjudul Ajoeba Wartabone (1894–1957). Sekali ke Djokja Tetap ke Djokja. Biografi Gagasan dan Kepemimpinan dari Gorontalo untuk Indonesia Bersatu, yang menyajikan riset arsip dalam dan luar negeri, menelusuri jejak nasionalisme, pembangunan pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan diplomasi lokal di masa awal Republik. Buku tersebut menempatkan Indonesia Timur dalam konteks sejarah yang kerap luput dari narasi pusat.
Salah satu kisah tentang Ajoeba yang tertulis dalam buku tersebut adalah saat Ajoeba menjadi peserta Konferensi Denpasar pada Desember 1946.
Sebuah forum yang digelar Belanda untuk menyusun sistem federal. Kehadiran Ajoeba menggambarkan sikap kritis terhadap upaya pecah-belah dan pentingnya menjaga kesatuan dari dalam struktur negara bagian.
Dalam Sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) tahun 1947 di Makassar, Ajoeba menyampaikan pernyataan yang kemudian menjadi ikonik: Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja.
Ucapan ini menjadi simbol dukungan terhadap pemerintah Republik di Yogyakarta serta penolakan terhadap sistem federal bentukan kolonial.
Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, antropolog dan Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, memberi pengantar buku dan menilai karya ini memperluas wawasan publik tentang kontribusi daerah dan pembangunan berkeadilan.
Biografi Ajoeba Wartabone tidak hanya menghadirkan peristiwa sejarah, tetapi juga nilai, keberanian, dan keteguhan sikap yang menyalakan api persatuan pada masa awal Republik. (Z-1)


















































