
KINERJA Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tampak terjun bebas. Sebab, baik pendapatan dan belanja mengalami pertumbuhan negatif dari realisasi pada periode yang sama di tahun lalu.
Per akhir Februari 2025, pendapatan negara tercatat mencapai Rp316,9 triliun, atau 10,5% dari target di dalam APBN 2025. Namun realisasi itu tercatat tumbuh -20,8% dari realisasi pendapatan di Februari 2024 (year on year/yoy).
Sementara belanja negara tercatat sebesar Rp348,1 triliun, setara 9,6% dari alokasi yang tersedia. Namun kinerja belanja tersebut tercatat tumbuh -7,0% dari periode yang sama di tahun lalu.
"Penerimaan pajak kurang dari yang diharapkan yaitu Rp240,4 triliun, 9,7% dari target, atau tumbuh -25% secara tahunan. Tren ini menyoroti perlunya strategi penerimaan yang lebih kuat untuk mendukung stabilitas fiskal," ujar Ekonom Bank Danamon Indonesia Hosianna Evalita Situmorang melalui keterangannya, Kamis (14/3).
Dia mengatakan, belanja negara mengalami penurunan dibanding tahun lalu, didorong oleh belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) yang lebih rendah, yakni mencapai Rp83,6 triliun, setara 7,2% dari target, namun tumbuh -30,3% secara tahunan.
Kementerian Keuangan mencatat belanja pemerintah pada Januari dan Februari mengalami frontloaded, khususnya untuk transfer daerah (TKD) yang mencapai Rp136,6 triliun, setara 14,9% dari target, atau tumbuh 1,43% secara tahunan.
Hosianna mengatakan, defisit anggaran kali ini merupakan yang pertama sejak Februari 2021, sejalan dengan penerbitan obligasi bruto pemerintah sebesar Rp149,44 triliun hingga 10 Maret 2025. Angka itu 28,6% lebih tinggi dibandingkan penerbitan obligasi bruto pada periode yang sama tahun 2024 sebesar Rp116,23 triliun.
Defisit anggaran Indonesia tahun 2025 diproyeksikan sebesar Rp616,2 triliun, atau 2,53% dari PDB, dengan rencana penerbitan obligasi bruto sebesar Rp1.442,6 triliun hingga Rp642,6 triliun dalam bentuk penerbitan neto dan Rp800 triliun untuk jatuh tempo utang.
"Meningkatnya jatuh tempo obligasi akibat stimulus pascacovid dapat mendorong peningkatan penerbitan hingga tahun 2030," terang Hosianna. (Mir/I-1)