Kerangka manusia purba yang ada di Gua Harimau(Doc Indonesia Virtual Tour)
SEBUAH temuan mengejutkan datang dari penelitian arkeologi di Gua Harimau, Sumatera Selatan. Analisis terhadap sisa kerangka manusia purba dari situs tersebut mengungkap adanya indikasi penyakit malaria dan talasemia.
Penemuan ini menjadi yang pertama kali teridentifikasi pada kerangka dari periode logam, membuka bab baru dalam studi hubungan antara penyakit dan evolusi manusia.
“Pada jasad kerangka manusia ini, citra rontgen memperlihatkan penebalan dan porositas khas serta lesi tulang pada iga yang sangat besar untuk didiagnosis dengan talasemia,” ujar Pendiri dan Ketua Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia (Center for Prehistory and Austronesian Studies/CPAS), Truman Simanjuntak.
Talasemia sendiri dikenal sebagai kelainan darah yang diturunkan secara genetik. Penyakit ini terjadi akibat gangguan produksi hemoglobin, yaitu protein penting dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.
Mutasi pada rantai alfa (α) maupun beta (β) hemoglobin menyebabkan produksi tidak seimbang, sehingga memicu gejala mulai dari anemia ringan hingga talasemia mayor yang membutuhkan transfusi darah seumur hidup.
Meski berbahaya, mutasi gen talasemia justru menyimpan kisah unik dalam sejarah manusia. Mutasi ini tetap bertahan dalam populasi karena terbukti memberikan perlindungan terhadap malaria. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah “keuntungan heterozigot” (heterozygote advantage).
Artinya, seseorang yang membawa satu salinan gen talasemia memiliki ketahanan lebih baik terhadap malaria berat yang disebabkan parasit Plasmodium falciparum.
Konsep ini pertama kali diusulkan oleh ahli genetika J. B. S. Haldane pada 1949. Ia menyatakan tingginya frekuensi talasemia di wilayah-wilayah endemik malaria, seperti Mediterania, Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Afrika, bukanlah kebetulan, melainkan hasil seleksi alam.
Individu dengan satu gen talasemia lebih mungkin bertahan hidup dari serangan malaria dan mewariskan gen tersebut kepada keturunannya. Namun, individu dengan dua gen (homozigot) justru mengalami talasemia berat yang berisiko tinggi terhadap kesehatan.
Teori ini diperkuat dengan penelitian di Papua Nugini pada akhir 1990-an. Studi kasus terhadap anak-anak menunjukkan bahwa pembawa gen α-talasemia, baik heterozigot maupun homozigot, memiliki risiko lebih rendah terkena malaria berat dibandingkan anak tanpa gen tersebut.
Mekanisme perlindungan talasemia terhadap malaria masih terus diteliti. Salah satu hipotesis menyebut bahwa sel darah merah penderita talasemia yang berukuran lebih kecil dan tidak normal dapat menghambat pertumbuhan parasit. Selain itu, sel darah merah tersebut lebih mudah dikenali sistem imun dan cepat dibersihkan tubuh, sehingga menekan jumlah parasit di dalam darah.
Meski demikian, perlindungan ini memiliki konsekuensi. Talasemia mayor menyebabkan kelainan tulang, anemia berat, dan kematian dini jika tidak ditangani secara medis. Inilah yang disebut trade-off evolusioner: sebuah gen yang bermanfaat dalam kondisi tertentu, justru berbahaya dalam kondisi lain.
Peneliti juga mencatat bahwa mutasi talasemia muncul berulang kali di berbagai wilayah. Di Asia Tenggara, bentuk mutasi α lebih dominan, sementara di Mediterania lebih banyak ditemukan β-talasemia. Hal ini menunjukkan adanya evolusi konvergen, di mana populasi berbeda mengembangkan solusi genetik serupa untuk menghadapi ancaman malaria.
Penelitian ini menegaskan bahwa mutasi yang tampak “buruk” dalam konteks medis modern, sebenarnya berperan adaptif dalam sejarah evolusi manusia. Dalam konteks modern, talasemia adalah masalah kesehatan serius. Namun, dalam lintasan sejarah manusia, mutasi ini pernah berfungsi sebagai tameng yang menyelamatkan jutaan orang dari malaria.
Sumber: BRIN, Nature


















































