
Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan, atau BI Rate di level 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 17-18 Juni 2025 dinilai sebagai langkah yang tepat. Di tengah ketidakpastian global yang masih membayangi, BI dinilai berhasil menjaga keseimbangan antara stabilitas dan peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto menilai keputusan tersebut mencerminkan sikap kehati-hatian BI dalam menghadapi tekanan eksternal, seperti tensi geopolitik tinggi Iran vs Israel, tanpa mengabaikan kebutuhan domestik akan pemulihan ekonomi.
"Keputusan BI mempertahankan level BI Rate tetap 5,50% betul-betul tepat, terarah dan taktis. Yang juga perlu digarisbawahi, stance kebijakan moneter BI yang cenderung pro-stability juga tetap dibarengi dengan stance kebijakan makroprudensial yang pro pertumbuhan," terangnya melalui keterangan tertulis, Rabu (18/6).
Menurut Ryan, selama ekspektasi inflasi tetap terkendali dan nilai tukar rupiah stabil, ruang relaksasi moneter di masa depan masih terbuka. Hal itu bisa diwujudkan melalui pelonggaran suku bunga acuan maupun insentif likuiditas kepada perbankan guna mendorong ekspansi kredit.
"Ketika kebijakan moneter melalui jalur BI Rate sudah on the right track, maka juga terbuka ruang melanjutkan relaksasi kebijakan di jalur makroprudensial, misalnya memberikan insentif likuiditas kepada perbankan, sehingga ruang ekspansi kredit makin terbuka," kata Ryan.
Namun demikian, tantangan terbesar saat ini tidak berada pada sisi penyediaan dana, melainkan permintaan kredit dari pelaku usaha dan rumah tangga yang masih lemah. Untuk itu, Ryan menekankan pentingnya peran kebijakan fiskal dalam merangsang sisi permintaan.
"Sekarang tinggal mendorong sisi permintaan kredit oleh pelaku usaha dan rumah tangga, yang dalam hal ini diperlukan insentif dari jalur fiskal sebagai stimulus perekonomian," jelas Ryan.
Dia menilai kebijakan fiskal yang bersifat countercyclical dan pro pertumbuhan sangat penting untuk memperkuat bauran kebijakan fiskal dan moneter. Akselerasi serapan belanja pemerintah, baik pusat maupun daerah, menjadi kunci untuk menciptakan proyek padat karya dan padat modal yang bisa menggairahkan dunia usaha.
Ia juga mendorong agar pengusaha mulai memanfaatkan pasar modal sebagai alternatif pembiayaan, termasuk dengan menerbitkan saham dan obligasi. Hal ini, menurutnya, tidak hanya bisa meningkatkan likuiditas pasar keuangan domestik, tapi juga memperdalam fondasi sistem keuangan nasional.
"Dengan skenario yang demikian ini, diharapkan kebijakan moneter BI betul-betul efektif dalam menstabilkan nilai tukar rupiah dan ekspektasi inflasi sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi," pungkas Ryan. (E-3)