Dialog program genting Kemendukbangga BKKBN.(Dok. MI)
KEMENTERIAN Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN terus memperkuat sinergi lintas sektor dalam mendukung percepatan penurunan stunting melalui Genting(Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting). Hingga Oktober 2025, sebanyak 1.534.553 keluarga risiko stunting telah mendapatkan manfaat dari para orang tua asuh (OTA) di seluruh Indonesia.
Deputi Bidang Penggerakan dan Peran Serta Masyarakat Kemendukbangga/BKKBN Sukaryo Teguh Santoso menegaskan bahwa stunting bukan hanya isu kesehatan, tetapi juga erat kaitannya dengan kemiskinan dan ketimpangan sosial.
"Stunting itu juga dampak dari fenomena kemiskinan. Saat ini ada 4,4 juta wanita di Indonesia yang tergolong stunting, dengan prevalensi 19,8 persen. Dari angka tersebut, 29,8 persen berasal dari keluarga kuantil satu atau keluarga miskin ekstrem. Jadi kalau kita bicara intervensi stunting, berarti juga harus bicara penghapusan kemiskinan ekstrem," kata Sukaryo di Jakarta, Kamis (30/10).
Sukaryo menjelaskan, target pemerintah adalah menurunkan prevalensi stunting dari 19,8 persen menjadi kurang dari 14,2 persen pada 2029. Upaya tersebut, katanya, hanya dapat terwujud dengan semangat kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
"Tentu ini perlu kolaborasi kita bersama. Kemendukbangga sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 kini mendorong gerakan gotong royong melalui program Genting. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi kerja bersama semua pihak," ujarnya.
Program Genting yang dicanangkan sejak 5 Desember 2024 menargetkan satu juta keluarga risiko stunting dapat dikawal agar anak-anak yang lahir dari keluarga tersebut bebas dari stunting. Dari total 8,6 juta keluarga berisiko di Indonesia, 1,4 juta di antaranya termasuk kategori miskin ekstrem.
"Satu juta keluarga saja yang bisa kita kawal dengan baik, dari masa hamil, melahirkan, hingga anak berusia dua tahun, Insya Allah mereka bisa lolos dari risiko stunting," ucapnya.
Program ini melibatkan berbagai elemen, mulai dari BUMN, korporasi, perguruan tinggi, komunitas, organisasi masyarakat, hingga individu peduli. Para orang tua asuh tidak menyalurkan dana ke pemerintah, melainkan memberikan dukungan langsung kepada keluarga sasaran, dengan pendampingan dari 600 ribu tenaga lapangan dan pendamping keluarga (PLKB dan TPK) yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Kami tidak menerima uangnya, tetapi memfasilitasi pihak yang ingin membantu dengan data keluarga sasaran di lapangan. Pendamping kami memastikan bantuan itu tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu, serta memberi feedback kepada para orang tua asuh," jelasnya.
Sukaryo juga menekankan pentingnya pemantauan jangka panjang terhadap anak-anak dari keluarga risiko stunting, agar dukungan tidak berhenti di usia balita tetapi berlanjut hingga pendidikan dasar.
"Harapannya, dukungan ini tidak hanya jangka pendek. Anak-anak yang dulu dibantu agar tidak stunting, bisa terus dikawal hingga sekolah dan tumbuh menjadi generasi sehat dan cerdas," katanya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN Bidang Optimalisasi Aset dan Peningkatan PNBP, Noorrachmad Priyang Mangku Agung Prabowo menekankan bahwa kolaborasi adalah kata kunci untuk mengatasi tantangan gizi dan kemiskinan ekstrem.
Ia menjelaskan, kolaborasi juga merupakan wujud nyata kehadiran negara sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto kepada Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Wihaji, agar memastikan perhatian penuh terhadap kesehatan ibu hamil.
"Kolaborasi ini adalah bentuk tanggung jawab bahwa negara hadir sesuai perintah Bapak Presiden kepada Pak Menteri kami untuk mengurus ibu hamil. Kenapa ibu hamil? Karena ibu hamil inilah cikal bakal dari lahirnya anak, dan ibu hamil ini harus dipersiapkan," kata Noorrachmad.
Ia menambahkan, tingginya angka kemiskinan dan stunting merupakan dua "saudara kembar" yang saling berkaitan, sehingga perlu diselesaikan bersama dalam waktu cepat agar Indonesia benar-benar siap menyongsong generasi emas 2045.
"Kalau stunting kebanyakan pasti miskin, walaupun ada di beberapa perkotaan yang tidak. Tetapi kalau miskin, mendekati stunting. Maka dua saudara kembar ini harus diselesaikan secepat-cepatnya supaya generasi emas bisa tercapai," tegasnya.
Dalam forum kolaborasi tersebut, Kemendukbangga mengundang sekitar 100 lembaga dan perusahaan, baik BUMN maupun swasta, untuk membangun kemitraan dalam mendukung keluarga berisiko stunting. (H-3)


















































