(MI/Despian)
Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek) merancang program living lab yang akan membuka ruang laboratorium bagi masyarakat.
Dengan hadirnya program ini, diharapkan sekat antara peneliti dan masyarakat bisa didobrak. Sehingga ekspertis bisa langsung bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan masalah riil.
"Jangan lagi kegiatan saintek itu banyak di lab yang dibatasi ruang, dibatasi alat," ungkap Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Kemdiktisaintek, Yudi Darma, dalam Diskusi Media bertajuk Membangun Ruang Hidup Sains dan Teknologi untuk Masyarakat di Jakarta, Jumat (3/10).
Lebih lanjut, dia menegaskan perlu ada intervensi yang lebih kuat terhadap saintek melalui program ini. Sehingga masyarakat pun merasa punya laboratorium untuk mengentaskan persoalan di lingkungannya.
Menurut Yudi, apa yang terjadi di masyarakat ataupun masalah yang dihadapi masyarakat menjadi kunci untuk menghadirkan riset yang berdampak. Karena sebenarnya hasil riset merupakan tuntutan dari masyarakat itu sendiri. "Sebenarnya masyarakat ada harapan, tuntutan, bahkan di pihak peneliti juga masyarakat itu selalu memberikan porsi (ide) di research center," tuturnya.
Ia ingin kontribusi masyarakat semakin masif dalam mempengaruhi produk saintek. Untuk itu ia sekali lagi menekankan interaksi dalam saintek. "Kita ciptakan siklus, bukan hanya interaksinya saja, tapi di sana ada keberlanjutan di situ, sehingga dirasakan langsung oleh masyarakat," kata dia.
Dia pun menekankan pentingnya kedekatan antara peneliti dan masyarakat. Kolaborasi bersama antara peneliti dan masyarakat tak cuma perkara menyelesaikan masalah dan menghasilkan produk riset.
Ia berharap, kemampuan atau analisa ilmuah pun hidup di masyarakat. Sehingga terjadi diskusi-diskusi berbasis ilmiah di kehidupan bermasyarakat. "Ketika masyarakat lebih paham, maka harus bisa sampai berdebat dengan saintis," tuturnya.
Hal ini sangat diharapkan pasalnya gerakan peneliti sejatinya muncul kareka pemikiran di masyarakat. Sehingga persoalan apa yang ada dimasyarakat bisa dibawa ke laboratorium. "Kita menginginkan gerakan penelitian ini bisa terilhami dari pemikiran di publik," tegasnya.
Yudi pun menceritakan bahwa pihaknya mendapatkan temuan jika banyak produk riset tidak berhasil dihilirisasi. Hal ini menimbulkan frustasi bagi peneliti. "Isu-isu produk riset gagal hilirisasi ini banyak soal ya, mungkin juga dari segi bisnis. Tapi yang jelas ini sudah membuat peneliti frustasi," ucap Yudi.
Selain itu, produk yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat juga menjadi kendala. Karena itu, diperlukan kolaborasi lebih kuat antara peneliti dan masyarakat.
Di tempat yang sama, Dosen Sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang, Evi Eliyanah menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sejak awal terhadap dunia sainstek. Ia menyebut istilah Co-kreasi untuk hal tersebut.
Co-kreasi kata dia adalah langkah untuk melibatkan masyarakat sejak awal dalam riset. Sehingga masyarakat terlibat aktif dalam melahirkan produk riset.
"Jadi dengan co-kreasi bersama ini masyarakat dilibatkan bahkan sejak memetakan permasalahan yang ada," kata Evi.
Dengan adanya co-kreasi kata dia masyarakat tidak cuma sekadar menerima hasil riset. Menurutnya, hal ini pula yang menjadi persoalan pemanfaatan produk riset yang terkendala. "Jadi masyarakat nanti tidak hanya dilemparkan produk baru. Jadi dari awal dikembangkan bagaimana, ungkapnya.
Pelibatan lebih luas adalah dengan kolaborasi langsung dengan industri. Tujuannya adalah maksimalisasi seluruh riset dari hulu ke hilir.
Tak kalah penting, bagaimana pemetaan persoalan baru setelah produk riset ada di masyarakat. Agar terus ada perbaikan dan pengembangan produk riset.
"Jadi ada umpan balik dalam memetakan bagaimana masalah yang kita hadapi ini dan akan kembali diselesaikan bersama," tutup dia.
Sementara itu, Dosen sekaligus sejarawan Monas University, Luthfi Adam menerangkan jika salah satu tantangan riset adalah koneksi antara peneliti dan masyarakat. Menurutnya komunikasi antara peneliti dan masyarakat adalah hal penting.
"Karena jangan sampai terpisah dunia riset itu antara kampus dengan penelitinya serta masyarakat," kata Luthfi.
Peneliti kata dia memang punya kemampuan sebagai ekspertis. Tapi masyarakat kata dia yang lebih dekat dengan persoalan yang nyata.
"Jadi harus ada ruang yang didobrak sehingga saintis dan masyarakat berada dalam satu ruang yang sama," tutur dia.
Bahkan kata dia, masyarakat harus dijadikan sebagai informan bagi peneliti. Sehingga riset yang dilakukan bersama lebih berkembang.
"Saintis harus punya relasi dengan siapa saja, mereka harus punya informan dan informan itu adalah orang lokal, masyarakat yang memberikan informasi pengetahuan," tutup Luthfi. (H-1)


















































