SEJUMLAH pencipta lagu Indonesia bersama Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) KCI menuntut pengelolaan royalti lagi dan/atau musik yang transparan.(Dok. LMK KCI)
SEJUMLAH pencipta lagu Indonesia bersama Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) KCI (Karya Cipta Indonesia) membentuk gerakan dan menyatakan sikap keprihatinan mereka atas ketidakjelasan pengelolaan royalti lagu dan musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Para pencipta lagu ini bersatu menuntut sistem royalti yang adil, transparan, dan dikelola secara profesional oleh para pencipta sendiri, sejalan dengan praktik terbaik internasional.
Para pencipta lagu bersama KCI juga menyatakan, dalam waktu dekat, akan mengajukan permohonan Judicial Review (Uji Materiil) ke Mahkamah Agung RI terhadap Peraturan Pemerintah (PP) 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dan Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) 27/2025 tentang Pelaksanaan PP 56/2021, yang menjadi dasar hukum LMKN.
Enteng Tanamal, Ketua Pembina KCI yang juga salah satu inisiator pengelolaan royalti musik di Indonesia menjelaskan, banyak pencipta lagu yang mendatangi kantornya untuk menanyakan keberadaan LMKN. Para pencipta lagu itu merasa LMKN semakin jauh melakukan intervensi LMK dan hak pencipta lagu.
Sebagai LMK yang menerima kuasa dari pencipta, kata Enteng, sudah semestinya KCI mendengar dan merespons aspirasi para pencipta. “Mereka meminta kami ajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung untuk mengoreksi PP 56/2021 dan Permenkum 27/2025 agar sesuai dengan UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta. Ya, kami laksanakan juga sebagai langkah konkret perjuangan. Pokoknya LMK dan pencipta lagu itu merupakan satu kesatuan, senasib sepenanggungan,” kata Enteng dalam siaran pers yang diterima Media Indonesia, Minggu, (26/10).
Pencipta lagu dan penyanyi Obbie Messakh menyampaikan, di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang, pengelolaan royalti musik dilakukan oleh asosiasi independen para pencipta seperti ASCAP, PRS, atau JASRAC, tanpa campur tangan pemerintah.
Lembaga-lembaga itu, tambahnya, bertanggung jawab terhadap pemberi kuasa, yaitu pencipta lagu. Pemerintah cukup memfasilitasi dan mengawasi untuk transparansi dan akuntabilitas; bukan intervensi dengan turun tangan langsung untuk melakukan penagihan royalti.
“Keterbukaan dan kejujuran itu penting. Pencipta lagu perlu tahu, berapa royalti sesungguhnya yang dikumpulkan. Laporan yang bersifat publik harus tersedia, data pemakaian disajikan secara terbuka, dan pembagiannya harus jelas,” kata Obbie Messakh.
Para pencipta lagu itu juga mendesak agar pemerintah menghentikan praktik monopoli LMKN dan mulai membangun sistem digital yang transparan dan akuntabel. “Ini bukan soal menolak negara. Kami hanya menolak ketidakadilan dan menuntut adanya profesionalisme. Negara seharusnya menjadi pengawas dan fasilitator, bukan pemungut royalti,” tambah Eko Saky, pencipta lagu Jatuh Bangun yang juga menjadi inisiator gerakan.
Mereka juga mengimbau DPR dan pemerintah untuk melibatkan para pemangku kepentingan tata kelola royalti yang seluas-luasnya dalam menyusun kebijakan sektor royalti, termasuk para pencipta lagu.
“Jangan diskriminatif. Masak yang terkenal wajahnya saja yang dimintai masukan. Pencipta lagu memang tidak seterkenal selebritis, tapi pengalaman dan pemikirannya perlu didengar,” kata Ali Akbar, pencipta lagu yang banyak berkarya untuk God Bless dan Gong 2000. (M-1)


















































