Ilustrasi(Freepik.com)
KEMENTERIAN Perindustrian (Kemenperin) menyatakan penolakan terhadap wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Menurut Kemenperin, kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan fungsi edukasi konsumen dan mengganggu tatanan industri yang telah diatur secara ketat melalui regulasi pelabelan.
"Concern industri adalah bahwa mereka harus memberikan edukasi terhadap konsumennya melalui kemasan yang ada saat ini. Nah, itu tidak bisa dilakukan dengan plan packaging tadi itu," ujar Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, dilansir dari keterangan resmi, Rabu (1/10).
Putu menegaskan bahwa regulasi yang berlaku saat ini, termasuk Standar Nasional Indonesia (SNI) dan kewajiban pelabelan, sudah cukup untuk memberikan informasi yang transparan kepada konsumen. Setiap perusahaan diwajibkan mencantumkan bahan-bahan dan informasi lain sesuai ketentuan yang berlaku. "Untuk plain packaging, kami dari industri jelas tidak setuju," tegasnya.
Lebih lanjut, Putu menyoroti bahwa kebijakan tersebut berisiko menghilangkan identitas merek yang telah dibangun oleh pelaku industri melalui proses panjang. Dampaknya tidak hanya merusak ekosistem pasar yang sudah terbentuk, tetapi juga berpotensi mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal.
Peredaran rokok ilegal saat ini menjadi perhatian serius pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan yang diterapkan harus mempertimbangkan keseimbangan antara aspek fiskal dan non-fiskal, agar tidak menciptakan celah yang justru dimanfaatkan oleh pelaku rokok ilegal.
Di sisi fiskal saat ini diperlukan kebijakan cukai yang membantu industri legal dengan tidak menaikkan cukai, dari sisi non-fiskal. Putu juga menyoroti kekhawatiran pelaku usaha terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang menjadi dasar wacana plain packaging. Ia berharap proses harmonisasi regulasi masih membuka ruang untuk dialog dan masukan dari berbagai pihak.
"Mudah-mudahan nanti saat proses harmonisasi, ini masih ada kesempatan untuk kita sampaikan masukan-masukan seperti itu," katanya.
Meski PP 28/2024 berangkat dari pendekatan kesehatan, Kemenperin menekankan pentingnya keseimbangan dalam implementasi kebijakan, agar tidak mengabaikan aspek ekonomi dan keberlangsungan industri.
"Mudah-mudahan di dalam pembahasan-pembahasan ini bisa berjalan dengan mempertimbangkan semua aspek, karena kompleksitasnya sangat tinggi. Kita coba mengikuti arahnya, tapi bisa berjalan bersamaan," imbuhnya.
Sebagai institusi yang bertanggung jawab menjaga dan mengembangkan sektor industri, Kemenperin menegaskan komitmennya terhadap keberlanjutan industri hasil tembakau. Salah satu fokus utama adalah memastikan produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik secara optimal.
"Yang utama sekali adalah bagaimana kita mengisi pasar. Selama ada pasar, produksi ini harus kita isi. Kalau pasar ini tidak kita isi, pasti akan diisi oleh negara lain," jelas Putu.
Ia juga mengingatkan bahwa kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian nasional sangat signifikan. Putu turut memaparkan capaian ekspor produk tembakau Indonesia yang melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir.
"Di awal 2020-2021, ekspor kita baru antara 60-80 juta USD. Dan sekarang sudah menjadi 1,8 miliar USD. Bayangkan itu peningkatannya luar biasa," ungkapnya.
Dengan posisi sebagai eksportir produk tembakau terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki peluang besar untuk terus tumbuh di pasar global. Namun, hal ini hanya dapat tercapai jika regulasi yang diterapkan tetap adil, seimbang, dan mendukung keberlanjutan industri. (H-2)


















































