
RIBUAN mahasiswa internasional di Harvard University, Amerika Serikat (AS) tengah dilanda kecemasan menyusul kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump yang berupaya melarang universitas tersebut menerima dan menampung pelajar asing.
Kekhawatiran meningkat seiring potensi pencabutan visa, tertundanya proyek penelitian, hingga risiko dilarangnya kembali ke AS bagi mahasiswa yang saat ini tengah berada di luar negeri selama musim panas.
"Ribuan mahasiswa internasional masih dalam ketidakpastian dan sangat ketakutan, karena mereka tidak mengetahui status hukum mereka saat ini," kata Abdullah Shahid Sial Wakil Presiden Badan Mahasiswa Harvard, yang berasal dari Lahore, Pakistan seperti dilansir CNN, Minggu (25/5).
"Mereka benar-benar seperti remaja yang tinggal ribuan mil jauhnya dari kampung halaman dan harus menghadapi situasi ini," sebutnya.
Sekitar 27% dari total mahasiswa Harvard atau sebanyak 6.793 orang, adalah pelajar asing yang menempuh studi sarjana dan pascasarjana.
Menurut Sial, langkah pemerintahan Trump ini bukan hanya mengancam masa depan mereka tetapi juga merendahkan kontribusi intelektual yang dibawa oleh mahasiswa internasional ke AS.
"AS mendapatkan banyak keuntungan dari kedatangan orang-orang terbaik di dunia ke universitas untuk belajar. Namun, mereka kemudian direndahkan dan tidak dihormati," ujarnya.
Meski begitu, ia menyatakan bahwa pihak kampus dan para pengajar terus memberikan dukungan kepada mahasiswa asing, termasuk dengan mendorong adanya bantuan keuangan serta opsi transfer ke perguruan tinggi lain. Namun, upaya tersebut dihadapkan pada keterbatasan waktu.
"Kesempatan untuk pindah ke universitas lain pada semester musim gugur sudah ditutup di sebagian besar perguruan tinggi," lanjutnya.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Karl Molden, mahasiswa asal Austria yang kini berada di luar AS. Ia khawatir tidak dapat kembali ke kampus akibat kebijakan imigrasi yang mendadak ini.
"Mahasiswa internasional seperti digunakan sebagai 'bola' dalam pertarungan antara demokrasi dan otoritarianisme," ucap Molden.
Rasa kecewa turut dirasakan Jared remaja 18 tahun asal Selandia Baru, yang baru saja diterima di Harvard dan berencana memulai kuliah pada musim gugur.
"Saya patah hati saat tahu pengumuman Trump yang disampaikan di tengah-tengah pengajuan visa pelajar," terangnya.
Beberapa mahasiswa juga mengkritik cara Trump menggunakan isu Yahudi dan antisemitisme sebagai alasan untuk menekan Harvard. Presiden AS itu sebelumnya menuduh kampus Ivy League tersebut sebagai tempat yang tidak aman dan rasial.
Seorang mahasiswa asal Israel yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa pemerintah seolah menjadikan Harvard sebagai alat dalam konflik yang lebih besar dengan dunia akademik.
"Saya merasa kami dimanfaatkan," ujarnya.
Kekacauan ini bermula dari langkah Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, yang mencabut izin Harvard untuk menerima pelajar asing mulai Tahun Akademik 2025–2026. Kebijakan tersebut membuat masa depan ribuan mahasiswa menjadi tak menentu, padahal kontribusi mereka sangat penting bagi pendanaan universitas.
Namun, upaya ini kini tertahan setelah Pengadilan Distrik Massachusetts mengeluarkan keputusan untuk menangguhkan kebijakan tersebut. Penangguhan dilakukan menyusul gugatan resmi dari Harvard, yang menilai langkah pemerintah melanggar hukum dan Konstitusi AS.(I-3)