Keberhasilan Satu Kasus belum Menandakan Perbaikan Pemberantasan Korupsi

5 hours ago 1
Keberhasilan Satu Kasus belum Menandakan Perbaikan Pemberantasan Korupsi Presiden Prabowo Subianto (kanan) menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian negara hasil korupsi minyak kelapa sawit (CPO) senilai Rp13,2 triliun dari Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kedua kiri) .(Antara/Hafidz Mubarak)

PENELITI Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rahman, menilai keberhasilan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam memulihkan pidana pengganti Rp13,25 triliun dari kasus korupsi minyak sawit mentah (CPO) sebagai capaian besar dan langkah yang patut diapresiasi. 

Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan satu kasus tidak serta-merta menandakan perbaikan menyeluruh dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Ini capaian besar ya, selamat buat Kejaksaan. Tanda baik dalam satu kasus iya, tetapi tentu ini bukan merupakan hasil secara keseluruhan dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya kepada Media Indonesia, Senin (20/10). 

"Pertanyaannya, apakah indeks persepsi korupsi kita akan membaik? Itu yang harus ditunggu dalam laporan tahun 2025 nanti," sambung Rahman.

Rahman menekankan, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya diukur dari besarnya aset yang berhasil dikembalikan negara, tetapi juga dari indikator yang diakui secara internasional. 

“Satu indikator yang paling diakui adalah Indeks Persepsi Korupsi (CPI). Kalau kasus korupsinya menurun dan CPI-nya naik, baru bisa dikatakan pemberantasan korupsi berhasil,” katanya.

Ia juga menyoroti pentingnya memperhatikan sektor penegakan hukum sebagai barometer utama. 

"Yang paling penting justru turunnya tingkat korupsi di bidang penegakan hukum. Jangan sampai satu keberhasilan besar seperti ini membuat kita lupa bahwa masih banyak masalah di sektor hukum itu sendiri,” ujarnya mengingatkan.

Meski begitu, ia mengakui mekanisme pidana pengganti yang digunakan dalam kasus CPO masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum.

"Mekanisme uang pengganti ini masih sangat debatable, meskipun Pukat berada di posisi yang mendukung. Karena ini menyangkut kerugian perekonomian, bukan kerugian keuangan negara,” jelasnya.

Menurutnya, konsep kerugian perekonomian negara kerap dipersoalkan karena dianggap belum memiliki kepastian hukum. 

"Banyak ahli pidana dan praktisi yang mengkritik, karena tidak ada ukuran yang pasti. Tapi bagi kami, kerugian perekonomian itu bukan sesuatu yang abstrak, selama yang menghitung adalah pihak yang memiliki keahlian,” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya mendorong agar negara segera membuat pedoman resmi mengenai cara menghitung kerugian perekonomian negara. "Saat ini belum ada panduan yang baku, sehingga hasil perhitungan bisa berbeda-beda antara BPK, BPKP, atau ahli lainnya. Negara perlu menetapkan pedoman itu secara jelas,” katanya.

Ia menyarankan agar lembaga-lembaga seperti BPK, BPKP, KPK, kejaksaan, dan kepolisian duduk bersama menyusun formula yang seragam. "Kalau bisa diatur dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Harus jelas siapa yang dimaksud dengan kerugian perekonomian negara, siapa yang menghitung, dan bagaimana alat ukurnya,” ujarnya. (Far/P-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |