
MERAWAT iklim sekaligus memberi manfaat ekonomis rupanya dapat ditemukan dalam praktik sederhana para ibu di Desa Waimatan dan Desa Lamawolo, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Komunitas yang terdiri dari ibu-ibu kreatif korban bencana banjir bandang di Lembata itu dilatih cara mewarnai benang dengan menggunakan bahan alami. Teknik ini berasal dari kearifan lokal setempat namun dimodifikasi hingga menghasilkan cara lebih cepat, efisien namun menghemat waktu. Padahal, proses mewarnai secara tradisional yang sudah berlaku turun temurun di Lembata, dapat memakan waktu 5 hingga 10 tahun.
Dari teknik mewarnai secara tradisional ini, ibu-ibu ini menghasilkan motif tenunan antara lain, Ohin (sarung merah), hebaken (sarung hitam), Tenepa (motif kombinasi warnah) dan Botungen dan Watan (sarung adat).
Pelatihan yang digelar NGO IDEP Selaras Alam bekerja sama dengan Yayasan BARAKAT dalam program yang diberi nama DREAMS.
Kepada Media Indonesia, Ursula Yunita Langoday dan Margareta Ose Making, staf Yayasan Barakat menjelaskan, Peserta workshop diajarkan cara melipat, mengikat, dan mencelup benang ke dalam pewarna dari bahan alami.
Ursula menjelaskan, program ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, melalui pelatihan dan kegiatan yang mendorong masyarakat lebih siap dan mandiri. Selain fokus pada pengurangan risiko bencana, program ini juga mendukung produksi pangan dan ekonomi yang berkelanjutan, dengan pendekatan ramah lingkungan seperti permakultur. Salah satu kegiatan penting dalam program ini adalah pelatihan teknik pewarnaan alami bagi 20 penenun lokal terpilih.
Menariknya, mentor dalam pelatihan ini adalah Yuliana Prada, seorang Ibu yang menekuni profesi menenun berbagai jenis sarung untuk menghidupi keluarganya. Ibu paruh baya ini setia pada profesi menenun dan dilakoni terus hingga saat ini.
Yuliana Prada menjelaskan, dalam pelatihan mewarnai benang secara alami dirinya memperkenalkan teknik mewarnai tanaman seperti kunyit, daun merungge (kelor), daun jati, kapur siri, jeruk purut dan kemiri.
Kunyit sendiri dapat menghasilkan 3 warna yakni Kuning, coklat dan hijau kekuningan. Tergantung pasangan tanaman yang akan diaplikasikan.
Jika kunyit dicampur air jeruk purut, menghasilkan warna Kuning. Apabila kunyit dicampur kapur siri menghasilkan warna cokelat.
Kunyit dicampur daun kelor dapat menghasilkan warna hijau kekuningan. Jika Kunyit dicampur daun jati menghasilkan warna Cokelat.
Semua adonaan dari tanaman yang sudah ditumbuk hingga halus kemudian dicampur bahan yang dapat menghasilkan warna yang diinginkan, kemudian dicampur dengan tepung kemiri agar benang menjadi lembut dan tidak garing. Adonan bahan tanaman itu direndam 15-20 menit, benang yang sudah diaplikasikan bahan pewarna langsung berubah warna.
Sebanyak 20 penenun lokal terpilih dilatih teknik pewarnaan alami dan juga pewarnaan bermotif untuk tenun yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
Direktur LSM Barakat, Benediktus Bedil menjelaskan, program ini guna mendukung upaya konservasi yang terhubung dengan pengembangan hutan pangan dan wanatani, mendorong pemanfaatan sumber daya alam lokal secara bijak melalui penggunaan bahan pewarna alami yang berasal dari tanaman-tanaman hutan pangan dan wanatani.
"Dari rangkaian pelatihan ini diharapkan akan menghasilkan 20 penenun lokal terlatih dalam teknik pewarnaan alami dan bermotif, mampu menghasilkan kain tenun bernilai jual tinggi yang ramah lingkungan, serta berkontribusi pada peningkatan pendapatan keluarga dan pelestarian budaya lokal. Terwujudnya pemanfaatan bijak tanaman pewarna alami dari hutan pangan dan wanatani, yang mendukung konservasi lingkungan, pelestarian ekosistem lokal, serta mendorong kolaborasi antara penenun dan pengelola sumber daya alam," ungkap Benediktus. (H-2)