
KETEGANGAN antara India dan Pakistan kembali memuncak setelah serangan teroris di Pahalgam, Kashmir India, bulan lalu, tepatnya 22 April 2025. Respons cepat pemerintah India langsung menuduh Islamabad sebagai dalang perbuatan itu tanpa bukti yang jelas. India secara langsung menghukum Pakistan dengan penangguhan Indus Water Treaty (perjanjian perairan Indus) yang telah berjalan puluhan tahun, pembatasan perdagangan, serta tekanan diplomatik terhadap Pakistan.
Tensi konflik semakin tinggi setelah PM (Perdana Menteri) Pakistan Shehbaz Sharif memperingatkan India atas tantangan mereka yang dianggap sebagai war declaration. Agresi itu membawa dua negara yang memiliki kekuatan nuklir ke ambang peperangan. Sebagai balasan, Pakistan menegaskan bahwa lima pesawat tempur India telah ditembak jatuh, sedangkan korban sipil akibat serangan India terhadap Azad Kashmir dan Punjab menewaskan sedikitnya 31 orang sehingga klaim militer India terkait bahwa ini serangan 'noneskalasi' sulit untuk dipercaya.
Bermula pada 1947 silam, saat Maharaja Hari Singh (penguasa Kashmir) menandatangani Instrument of Accesion kepada India. Hal ini memicu kemarahan Pakistan, yang saat itu masih negara muda beribu kota di Karachi. Akhirnya PBB turun tangan, hingga kedua negara sepakat membagi dua Kashmir dengan Line of Control.
Konflik terus berlanjut dengan perang kedua pada 1965 dan perang ketiga pada 1971, yang makin merumitkan status Kasmir. Hingga terjadi pertempuran Kargil pada 1999, pasukan Pakistan dan kelompok militan menyusup ke wilayah India, memicu bentrokan yang akhirnya berujung dengan kemenangan India.
Ketegangan di Kashmir terus berlanjut hingga hari ini meskipun ada upaya diplomasi di antara dua pihak agar konflik mereda tanpa menimbulkan korban sipil. Namun, media India membentuk opini publik dengan slogan Jae Hind (Glory India). Jelas tujuannya meyakinkan masyarakat global bahwa India telah menang meskipun realitasnya menunjukkan kedua negara akan kembali pada the phoney peace (perdamaian palsu). Seperti yang pernah terjadi pada masa lalu, saat Perjanjian Taskent (1966), Perjanjian Shimla (1972), dan Deklarasi Lahore (1999).
MIMPI MODI DAN KEPUNGAN GEOPOLITIK
Pakistan sudah pasti akan mendapatkan rapor merah di mata dunia jika benar bertanggung jawab atas serangan di Pahalgham. Itu termasuk akan kehilangan dukungan internasional dan isolasi ekonomi di tengah rancunya neraca keuangan negara itu. India juga akan merusak reputasi diplomatik mereka di mata dunia apabila meneruskan eskalasi tersebut.
Seperti kata Bertrand Russell, “Perang tidak menentukan siapa yang benar, hanya siapa yang tersisa.” Semua pihak harus mempertimbangkan matang-matang solusi perdamaian sebelum semua terlambat. India mungkin akan mengeklaim menargetkan infrastruktur terorisme dalam serangan mereka, tetapi jatuhnya korban sipil menunjukkan sebaliknya.
Langkah itu dipandang sebagai upaya New Delhi untuk menqisas Pakistan terhadap serangan terhadap sipil di Pahalgam. Ditambah Partai BJP memanfaatkan tragedi itu untuk membangkitkan sentiment anti-Pakistan meskipun tanpa fakta yang jelas. Karena itu, sangat mungkin mereka akan mengabaikan seruan global untuk deeskalasi konflik. Itu membuktikan bahwa sengketa Kashmir tetap menjadi isu utamanya.
Pakistan, warga Kashmir, dan dunia mengakui fakta ini meskipun India mengeklaim justru sebaliknya. Perdamaian panjang hanya dapat dicapai jika kedua negara tersebut berdialog secara jujur. Tanpanya, ketegangan akan terus berlanjut mengancam stabilitas kawasan Asia Selatan.
Jika ditarik ke belakang, India di bawah kepemimpinan Narendra Modi menerapkan model pembangunan yang agresif dalam kebijakan geopolitiknya. Pendekatan itu sudah berakar pada kebijakan India yang muncul sejak awal 2000-an, termasuk saat pencabutan Pasal 370 (tentang ketentuan khusus yang memberikan hak otonomi khusus kepada Jamuu dan Kashmir) serta pembatasan perjanjian perairan Indus.
Bisa jadi mimpi Modi ialah mengintegrasikan Kashmir secara paksa melalui proyek infrastruktur besar dan membatasi kebebasan warga lokal. Krisis moneter 2008 membawa perubahan geopolitik di kedua negara dan memperburuk ketegangan. Modi yang berkuasa sejak 2014 membawa angin segar kembali terhadap India melalui kebijakan agresifnya, dengan ambisinya menjadikan Kashmir bagian penuh dari India tanpa mempertimbangkan saudaranya.
Pakistan yang bertekad mengagalkan upaya itu seolah terus memperjuangkan hak rakyat Kasmir yang seiman (muslim) dengan klaim holy war-nya. Dengan melihat situasi yang menciptakan konflik yang tidak berkesudahan dengan kedua pihak tidak dapat menang, tapi juga gengsi untuk menyerah, solusinya melalui dialog di meja perundingan. India yang bertekad untuk mengejar gelar superpower mereka memiliki ambisi hegemonic, serta bercita-cita untuk mendominasi anak benuanya dan seluruh dunia dan Modi muncul di panggung politik India dengan pendekatan agresifnya.
PEDANG DAMOCLES DI ASIA SELATAN
Sebelum peristiwa 9/11, Pakistan mengalami tekanan berat, baik secara ekonomi maupun diplomatik. Negara itu semakin terisolasi secara global, sementara kondisi ekonomi mereka semakin memburuk hingga mencapai titik kritis. Pakistan telah beberapa kali menjalani restrukturisasi utang dan baru saja menyelesaikan perjanjian darurat dengan IMF yang berdampak besar bagi masyarakat. Pengangguran melonjak, harga energi meningkat tajam, dan prospek ekonomi tampak suram. Satu-satunya jalan keluar yang tersedia saat itu ialah reformasi struktural besar-besaran, tetapi langkah itu terlalu berat, bahkan bagi pemerintahan otoriter sekalipun.
Namun, kondisi seusai 9/11 secara drastis mengubah posisi Pakistan dalam percaturan politik global. Bak pion yang menjelma menjadi kesatria, negara yang sebelumnya terpinggirkan tiba-tiba menjadi sekutu utama dalam perang melawan terorisme, Pakistan yang saat itu dipimpin Pervez Musharraf memperoleh manfaat ekonomi yang signifikan serta keringanan utang yang besar. Perubahan itu membuat India, yang sebelumnya berharap tekanan terhadap Pakistan akan melemahkan posisi mereka dalam konflik Kashmir karena sanksi, justru dikejutkan kebangkitan saudara kandung mereka itu.
Jika ditilik lagi, dapat disimpulkan bahwa India ingin mengamankan Kashmir tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat mereka. Sementara itu, Pakistan bertekad menggagalkan ambisi tersebut meskipun menghadapi tantangan berat. Ketegangan yang berulang hanya memperburuk hubungan kedua negara dan menghambat stabilitas kawasan.
Saat menulis berita ini,saya dikejutkan dengan ledakan tengah malam (9/5) saat serangan rudal yang menargetkan pangkalan udara Nur Khan di Rawalpindi, dari jet tempur India. Lokasi yang hanya berjarak 11 km dari kediaman saya di Islamabad, ibu kota Pakistan, sehari setelah PAF (Angkatan Udara Pakistan) menembak jatuh lima jet tempur India, tiga di antaranya berjenis Rafale buatan Prancis.
Dalam hemat saya, meskipun ketegangan terus berlanjut, kedua negara pastinya memahami bahwa bahaya terbesar ialah kemungkinan eskalasi yang tidak terkendali. India berusaha mengukuhkan dominasi mereka atas Pakistan, sementara Islamabad berupaya menolak tekanan dari New Delhi demi mencapai kondisi stabil yang diinginkan mereka.
Kedua pihak telah memaksimalkan strategi masing-masing, tetapi mereka juga menyadari bahwa jika batas-batas dilanggar, risiko kehancuran bersama akan menjadi kenyataan. Keseimbangan itu dijaga keberadaan senjata nuklir yang mengintai bagai pedang Damocles (ancaman), memaksa kedua negara untuk tetap berhati-hati agar tidak melangkah terlalu jauh dalam konflik.
ANTARA DIALOG DAN AMBISI
India dan Pakistan baru saja mundur dari potensi perang besar, berkat intervensi AS. Konflik terbaru terkait dengan Kashmir menimbulkan ketegangan diplomatik, dengan India ingin mempertahankan posisi mereka tanpa mediasi pihak ketiga, sementara Pakistan lebih terbuka terhadap bantuan dari Donald Trump. Gencatan senjata itu membuat beberapa pihak di India tidak puas, dengan munculnya pertanyaan tentang efektivitas strategi diplomatik mereka. Selain itu, sengketa perjanjian air di antara kedua negara menambah kompleksitas hubungan mereka.
Jika diamati lagi, konflik India dan Pakistan terkait dengan Kashmir menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas di kawasan itu. Meski ada upaya diplomatik, solusi jangka panjang tetap sulit tercapai. India ingin mempertahankan kontrol mereka atas Kashmir tanpa campur tangan pihak ketiga, sedangkan Pakistan melihat kesempatan pihak lain untuk memperluas dialog internasional.
Namun, intervensi pihak eksternal seperti AS sering kali memiliki kepentingan strategis tersendiri, yang dapat memperumit keadaan. Alih-alih bergantung pada mediasi luar, kedua negara perlu memperkuat dialog langsung yang berfokus pada penyelesaian akar masalah dan bukan sekadar respons terhadap ketegangan sesaat.
Selain itu, ketergantungan Pakistan pada dukungan internasional memperlihatkan tantangan ekonomi dan politik mereka. India, dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, memiliki posisi lebih kuat secara global, tetapi pendekatan militer yang agresif dapat mengorbankan citra diplomatik mereka. Jika konflik terus berulang tanpa resolusi jelas, stabilitas regional akan tetap terancam, dan risiko eskalasi nuklir tidak bisa diabaikan.
Solusi terbaik bukanlah konfrontasi, melainkan dialog yang jujur dan diplomasi berbasis kepentingan rakyat Kashmir. Jika ambisi geopolitik terus menguasai kebijakan kedua negara, konflik itu hanya akan semakin mengakar dan menghambat kemajuan ekonomi serta politik di Asia Selatan.
Perdamaian sejati hanya bisa tercapai jika kepentingan rakyat menjadi prioritas utama, bukan sekadar kepentingan politik elite. Mantan Perdana Menteri Inggris Stanley Baldwin pernah berujar, "War would end - if the dead could return." Semua pihak harusnya mengingat pepatah itu saat hendak menentukan langkah selanjutnya.