
SERATUS lima puluh tahun perjalanan Serikat Sabda Allah (SVD) merupakan peristiwa penting, bukan hanya bagi Kongregasi, melainkan juga bagi Gereja universal. Benih kecil yang ditanam oleh Arnoldus Janssen di Steyl, Belanda, pada 8 September 1875 telah berkembang menjadi jaringan misi yang kini hadir di berbagai benua.
Di Indonesia, SVD telah berakar lebih dari satu abad. Kehadirannya nyata dalam pendidikan yang mencerdaskan generasi, pelayanan kesehatan yang merangkul masyarakat, pendampingan pastoral hingga pelosok, serta keterlibatan dalam advokasi dan dialog lintas agama. Dari sekadar “ladang misi,” Indonesia kini menjelma menjadi salah satu negara pengutus misionaris terbesar.
Sejak pengutusan pertama pada tahun 1982/1983, sudah lebih dari seribu imam dan bruder muda dari Ledalero, Malang, dan Ende telah berkarya di berbagai penjuru dunia. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, ratusan misionaris asal wilayah kecil nusantara melanjutkan karya di lima benua.
Pertanyaan reflektif
Perkembangan tersebut menimbulkan pertanyaan yang patut direnungkan: apa sebenarnya sumbangan istimewa misionaris Indonesia bagi Gereja universal, di luar angka? Jawabannya terletak pada wajah khas yang mereka bawa. Sejak kecil, mereka hidup dalam negeri yang kaya etnis, bahasa, budaya, dan agama.
Pengalaman keberagaman ini membuat mereka lentur, mudah membangun relasi, dan cepat beradaptasi di tempat baru. Di samping itu, mereka terbiasa dengan keterbatasan. Ketika harus berkarya di wilayah yang minim sarana, mereka mampu menemukan cara sederhana yang kreatif dan efektif. Pewartaan iman yang membumi--melalui seni, budaya, atau kegiatan komunitas dan pastoral--menjadi ciri yang memberi warna berbeda.
Namun, medan misi global tidaklah mudah. Di Eropa, derasnya arus sekularisme membuat iman kerap dipandang usang, sementara di Timur Tengah dan sebagian besar Asia, dialog lintas agama menuntut keberanian dalam situasi penuh risiko.
Di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, isu-isu besar seperti krisis ekologi, migrasi, advokasi masyarakat adat, perdagangan manusia, dan kemiskinan struktural memanggil Gereja untuk terlibat lebih jauh dari sekadar pelayanan liturgis. Di tengah tantangan tersebut, misionaris juga dituntut memiliki daya tahan spiritual dan psikologis yang kokoh agar tidak mudah rapuh oleh kesepian dan arus globalisasi.
Saya sendiri mengalami tantangan ini ketika menjalani belasan tahun misi di Eropa: Rumania, Italia, dan Jerman. Di benua putih itu saya menyaksikan bagaimana sekularisme perlahan mengikis akar religius masyarakat, hingga identitas banyak orang dibentuk oleh rasionalitas dan gaya hidup konsumtif.
Pada saat yang sama, gelombang migrasi besar membawa wajah baru ke Eropa. Mereka hadir dengan latar belakang tercerabut dari budaya asal, membawa luka perang dan trauma, sekaligus harapan untuk hidup lebih layak. Kehadiran mereka memperkaya masyarakat, tetapi juga memunculkan ketegangan sosial dan politik.
Dialog yang tulus
Dalam konteks semacam ini, pewartaan iman tidak cukup berhenti pada kata-kata. Yang dibutuhkan adalah kesetiaan hadir, kreativitas dalam mengabdi, pelayanan yang nyata, dan dialog yang tulus serta sabar.
Dari pengalaman tersebut, saya semakin yakin bahwa misi hari ini membutuhkan lebih dari sekadar keberanian meninggalkan tanah air. Seorang misionaris dituntut memiliki ketangguhan batin, keluasan wawasan, dan keterampilan yang relevan dengan zaman. Tanpa bekal tersebut, ada risiko larut dalam gelombang sekularisme dan globalisasi.
Di sinilah lembaga formasi SVD di Indonesia memegang peran strategis. Ledalero, sebagai pusat pendidikan imam Katolik terbesar di Asia bahkan dunia, menekankan filsafat dan teologi yang terbuka pada pluralitas budaya dan dialog antaragama. Sementara itu, STFT Widya Sasana Malang, yang berakar di konteks perkotaan, mengembangkan kreativitas pastoral, literasi digital, dan kepekaan sosial untuk menjawab dinamika masyarakat modern.
Sementara itu, Biara Santo Konradus Ende berperan penting dalam membentuk para bruder: menanamkan keterampilan praktis, kepekaan sosial, dan daya tahan pribadi agar mampu menjawab kebutuhan serta tantangan zaman.
Di ketiga tempat ini, para calon misionaris ditempa bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara pribadi, agar tangguh secara psikologis, terampil hidup dalam komunitas, dan mampu berkomunikasi terbuka di medan misi.
Satu setengah abad perjalanan SVD membuktikan, bahwa karya kecil bisa menjelma menjadi pohon besar yang memberi teduh. Indonesia, yang dahulu menerima misi, kini ikut memberi. Yang menjadi sumbangan terbesar bukanlah jumlah misionaris, melainkan kualitas kesaksian hidup yang lahir dari formasi matang.
Selama lebih dari satu dekade melayani di Eropa, saya belajar bahwa ukuran misi tidak ditentukan oleh banyaknya karya, melainkan oleh kesetiaan untuk hadir bersama sesama. Kesetiaan itu sering kali tampak dalam hal-hal sederhana: mendengar sebelum berbicara, berjalan bersama sebelum mengarahkan, dan menyalakan secercah harapan di tengah situasi gelap dan putus asa.
Dari sanalah saya semakin yakin bahwa misionaris Indonesia dipanggil bukan sekadar untuk menambah angka, tetapi untuk menghadirkan wajah Gereja yang berakar pada Sabda Allah, berani berjalan bersama yang lain, dan mampu menghidupi solidaritas universal.