Presiden ke-7 RI Joko Widodo di kediamannya di Sumber, Solo, Jawa Tengah(Kristiadi/MI.)
ANGGOTA Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron menyoroti pernyataan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi bahwa Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh merupakan investasi sosial dan bukan proyek komersial yang berorientasi pada laba. Ia mengatakan, jika proyek tersebut dikategorikan sebagai investasi sosial akan menimbulkan ketidakjelasan. Ia mempertanyakan siapa pihak yang bertanggung jawab apabila Whoosh mengalami kerugian.
"Kalau investasi sosial lantas siapa yang bertanggungjawab atas kerugian KCIC dan konsorsium BUMN?" kata Herman melalui keterangannya, Jumat (31/10).
Herman menilai sejak awal proyek Whoosh merupakan proyek bisnis yang dikelola oleh BUMN, bukan pemerintah secara langsung.
"Sejak awal proyek KCJB ini adalah bisnis dan dikelola BUMN, bukan dikelola pemerintah," ujar Herman.
Herman mengatakan Komisi VI DPR akan berkomunikasi dengan BPI Danantara untuk mencari solusi terkait masalah di Whoosh.
"Komisi VI akan membicarakan solusi (masalah Whoosh) dengan Danantara," katanya.
Sebelumnya, Jokowi menyebut proyek Whoosh dibangun untuk mengatasi kemacetan di Jabodetabek yang sudah sangat parah. Selain kereta cepat, pemerintah membangun sarana transportasi lain, seperti LRT hingga MRT.
"Ini sudah sejak 30 tahun, 40 tahun yang lalu, 20 tahun yang lalu dan Jabodetabek juga kemacetannya parah," kata Jokowi.
Selain Jabodetabek, Jokowi menyebut Kota Bandung juga mengalami kemacetan yang parah. Dengan adanya kemacetan itu, Jokowi memperkirakan kerugian ekonomi bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Untuk itu, untuk mengatasi kemacetan yang terjadi di Jabodetabek dan Bandung diperlukan moda transportasi untuk mengurangi kerugian.
"Nah, untuk mengatasi itu kemudian direncanakan dibangun yang namanya MRT, LRT, kereta cepat, dan sebelumnya lagi KRL. Ada juga kereta bandara agar masyarakat berpindah dari transportasi pribadi mobil atau sepeda motor ke sepeda motor," jelasnya.
"Kereta cepat, MRT, LRT, kereta bandara, KRL. Agar kerugian itu bisa terkurangi dengan baik. Dan prinsip dasar transportasi massal, transportasi umum itu adalah layanan publik. Ini kita juga harus ngerti bukan mencari laba," sambung Jokowi.
Menurutnya, transportasi massal atau umum tidak bisa dilihat dari laba, tetapi dari keuntungan sosial, salah satunya pengurangan emisi karbon.
"Jadi, sekali lagi, transportasi massal, transportasi umum, itu tidak diukur dari laba, tetapi adalah diukur dari keuntungan sosial. Social return on investment, misalnya, pengurangan emisi karbon," terangnya. (H-4)


















































