
ITALIA menyatakan dukungan terhadap usulan Presiden Donald Trump yang menyebut Vatikan mungkin dapat menjadi mediator dalam pembicaraan gencatan senjata di Ukraina. Meski Trump enggan terlibat langsung dalam proses tersebut.
Kantor Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, menyampaikan Italia siap “memfasilitasi kontak dan bekerja menuju perdamaian” di Ukraina, serta “menyambut positif” apa yang mereka sebut sebagai kesediaan Paus untuk menjadi tuan rumah pembicaraan di Vatikan.
Namun, belum ada kesepakatan konkret mengenai pembicaraan lanjutan: pertemuan antara pejabat Rusia dan Ukraina di Istanbul pada Jumat lalu justru menghasilkan tuntutan tambahan dari Moskow, bukan kemajuan.
Paus Leo menyatakan Vatikan “selalu siap” mempertemukan pihak-pihak yang bermusuhan. Ia akan “melakukan segala upaya” agar perdamaian tercapai.
Namun, Takhta Suci mengatakan ide menjadi tuan rumah atau bahkan mediator lebih merupakan harapan ketimbang rencana nyata untuk saat ini.
Jika proses keterlibatan langsung berlanjut, Ukraina tampaknya terbuka terhadap kemungkinan Vatikan sebagai tuan rumah.
Volodymyr Zelensky
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menulis di platform X pada hari Selasa bahwa ia telah berbicara dengan Giorgia Meloni, termasuk mengenai “platform yang mungkin untuk pembicaraan dengan Rusia”.
Zelensky menyebut Perdana Menteri Italia itu memiliki “ide-ide keren seperti biasanya”, meskipun Meloni juga menyebut Turki dan Swiss sebagai alternatif lokasi pembicaraan.
Kremlin kemungkinan lebih memilih tetap di Turki. Mereka membicarakan proses yang disebut “Istanbul Plus”, yang memosisikan pembicaraan sebagai tindak lanjut dari kesepakatan awal yang dibahas di Turki tak lama setelah invasi besar-besaran dimulai.
Ketentuan awal itu, termasuk pengurangan drastis kekuatan militer Ukraina, saat ini akan dianggap sebagai bentuk penyerahan diri oleh Kyiv.
Namun Rusia menambahkan lebih banyak tuntutan: bagian “plus” berarti pengakuan terhadap aneksasi empat wilayah Ukraina yang sebagian diduduki serta Krimea.
Sebenarnya, tempat pelaksanaan tidak terlalu penting bagi Kremlin: yang mereka inginkan hanyalah pembicaraan berlangsung berdasarkan ketentuan Vladimir Putin. Prospek tercapainya kemajuan berarti, secara gamblang, tampak kecil.
Vatikan
Gereja Katolik memiliki sejarah dalam membantu mediasi konflik. Vatikan terlibat dalam pembicaraan pembebasan tahanan, serta pengembalian anak-anak Ukraina yang diculik oleh Rusia.
Meski begitu, kontribusi nyatanya tidak begitu jelas karena pihak lain juga menjalankan peran serupa. Di sisi lain, keterlibatan Vatikan akan membawa nuansa berbeda dalam proses pembicaraan.
Gaya diplomatik Vatikan yang tenang sangat berbeda dari unggahan media sosial Trump yang penuh huruf kapital serta konfrontasinya yang keras di depan umum dengan Zelensky di Kantor Oval. Bahkan, suasana Vatikan tampaknya telah memperbaiki hubungan keduanya.
Pada pemakaman Paus Fransiskus, keduanya tertangkap kamera sedang berbincang mendalam, dengan kepala saling mendekat, di dalam Basilika Santo Petrus.
Vatikan membanggakan diplomasi senyapnya: itulah sebabnya, saat negara lain memutus hubungan dengan Moskow setelah Rusia mulai mengebom Ukraina, Gereja Katolik malah mengirim utusan kardinal untuk berbicara dengan Kremlin. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil.
Paus Fransiskus, seperti halnya Donald Trump, selalu menghindari menyebut Rusia secara terang-terangan sebagai agresor. Sumber Vatikan menyatakan sikap itu bertujuan menjaga kemungkinan dialog tetap terbuka, bahkan saat harapan tampak tipis.
Namun, Fransiskus membuat warga Ukraina kecewa ketika ia menyatakan bahwa Rusia mungkin telah “diprovokasi” oleh NATO untuk melakukan invasi. Ia kemudian juga menyarankan bahwa mungkin bijak bagi Kyiv untuk “mengibarkan bendera putih” dan menyerah.
Bagi Kyiv, Paus Leo mungkin merupakan mediator damai yang lebih diinginkan. Ia pernah secara terbuka mengecam invasi Rusia sebagai perang imperialistik dan mengutuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan Putin.
Kremlin
Hal ini tidak mungkin menggentarkan Kremlin, jika Vatikan memang menjadi tuan rumah pembicaraan. “Putin bisa menjelaskan posisinya kepada Paus, ia percaya tindakannya benar. Dalam pikirannya, Ukraina-lah yang tidak serius soal pembicaraan damai,” ujar Tatiana Stanovaya dari Carnegie Russia Eurasia Centre.
“Saya tidak percaya satu detik pun bahwa Paus bisa memengaruhi cara pandang Putin.”
Saat ini, Rusia tidak berada di bawah tekanan besar untuk mengalah: semua pernyataan Donald Trump tentang menghukum Putin karena sikap keras kepalanya kini berubah menjadi pembicaraan soal perdagangan dengan Rusia. Menawarkan insentif, bukan sanksi.
Memang benar, Moskow menginginkan jauh lebih banyak. “Mereka ingin Zelensky disingkirkan dan agar AS serta Uni Eropa menghentikan bantuan militer. Namun soal itu, AS tetap berada di pihak Ukraina—menurut sudut pandang Rusia,” kata Stanovaya.
Maka dari itu, Rusia siap bermain dalam permainan jangka panjang—yang tidak melibatkan kompromi. “Jika Paus bisa membantu menekan Ukraina, Putin tidak akan keberatan [dengan keterlibatannya],” tambahnya.
Itulah inti persoalannya. Masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar apakah kedua pihak akan menyantap meze atau antipasti dalam putaran pembicaraan yang masih bersifat hipotetis. (BBC/Z-2)