Industri Tekstil Perlu Perlindungan Nyata dari Pemerintah

6 hours ago 3
Industri Tekstil Perlu Perlindungan Nyata dari Pemerintah Teknisi tengah mengoperasikan teknologi produksi tektil di ajang pameran Inatex & Indo Intertex 2025 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/4/2025).(MI/Usman Iskandar)

KETUA Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK-PII) Sripeni Inten Cahyani menyoroti lambannya kepastian regulasi terkait Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas produk partially oriented yarn-drawn textured yarn (POY-DTY). Untuk itu, pemerintah diminta segera mengambil sikap tegas untuk melindungi industri dalam negeri.

Hal ini disampaikan Sripeni menanggapi laporan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) yang menyatakan bahwa dua pabrik gulung tikar dan investasi senilai US$250 juta atau sekitar Rp4 triliun tertahan akibat belum diberlakukan BMAD terhadap produk tersebut dari Tiongkok. Oleh karena itu, menurutnya, industri hulu seharusnya menjadi prioritas karena kita punya semua modal dasarnya, sumber daya alam yang melimpah, teknologi yang terbukti, dan sumber daya manusia yang kompeten. 

"Bahkan pengembangannya tidak selalu harus dimulai dari nol. Banyak industri yang ada saat ini bisa direvitalisasi dengan cepat jika ada kepastian dari pemerintah," ujar Sripeni dalam keterangannya, Selasa (20/5).

Diketahui, temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) semakin memperkuat kondisi nyata yang dialami industri. KADI melakukan penyelidikan selama hampir satu tahun dan menemukan praktik dumping oleh eksportir Tiongkok. 

Praktik ini tidak hanya memukul industri lokal, tetapi juga menghambat realisasi investasi di sektor hulu tekstil yang semestinya bisa menjadi penggerak substitusi impor. Menurutnya, BMAD bukan sekadar tarif, melainkan bagian dari strategi besar untuk menjaga kedaulatan industri nasional. Jika tidak ada perlindungan dari praktik perdagangan tidak adil seperti dumping, industri lokal akan terus terpuruk dan ketergantungan terhadap impor akan semakin tinggi.

Inten juga mengingatkan bahwa visi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dan swasembada energi hanya bisa dicapai jika sektor industri hulu tekstil tumbuh signifikan. Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara selain India dan Tiongkok yang memiliki ekosistem tekstil lengkap dari hulu hingga hilir.

"Kita tidak bisa mencapai target ambisius itu kalau fondasi industrinya lemah. Jangan sampai yang sudah hidup justru dimatikan karena kalah bersaing akibat dumping, sementara investasi baru dari luar negeri terus difasilitasi tanpa melihat dampak jangka panjang," jelasnya.

Ia mencontohkan sektor energi berbasis batu bara sebagai peluang besar yang belum digarap maksimal. Indonesia, kata dia, masih mengekspor batu bara ke Tiongkok yang kemudian diolah menjadi metanol dan diimpor kembali dengan harga tinggi. Padahal, Indonesia bisa membangun industri metanol sendiri dari batu bara kalori rendah yang selama ini belum dimanfaatkan optimal.

"Metanol adalah bahan baku penting untuk biodiesel dan kita masih impor 1,5 juta ton per tahun. Begitu juga DME (dimethyl ether) yang bisa menggantikan LPG dan mengurangi ketergantungan impor. Ini peluang substitusi impor sekaligus penciptaan lapangan kerja, tetapi tidak akan terjadi tanpa keberpihakan nyata terhadap industri lokal," ungkapnya.

Dirinya turut menekankan pentingnya kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai bagian dari upaya perlindungan dan penguatan industri nasional. Ia berharap pemerintah tidak hanya fokus pada ekspor, tetapi juga memastikan kebutuhan dalam negeri dipenuhi oleh produksi dalam negeri. "Reindustrialisasi harus menjadi agenda nasional. Insinyur-insinyur kita sudah siap, tinggal diberi ruang dan kepercayaan," pungkasnya.

Adapun Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menuturkan, jika kepastian tersebut segera didapat, industri dalam negeri disebut mampu memproduksi tambahan 200.000 ton POY, jauh melampaui kebutuhan impor tahun lalu yang mencapai 140.000 ton. Program BMAD dapat dipandang sebagai salah satu langkah strategis yang sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan pembangunan kilang minyak terbesar di Indonesia. (I-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |