
MENTERI Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, mengatakan bahwa saat ini isu kependudukan tidak hanya menjadi isu negara berkembang, namun juga menjadi hal yang sangat diperhatikan oleh negara maju.
“Negara maju juga sekarang agak pusing bicara tentang kependudukan. Negara yang luar biasa harus memberikan subsidi yang luar biasa untuk melanjutkan generasi selanjutnya. Karena ada beberapa negara maju yang mengalami problem dalam kependudukan,” ungkapnya dalam acara Diskusi Pakar bertajuk Investasi Pembangunan Manusia untuk Indonesia Emas 2045, Senin (22/9).
Lebih lanjut, menurutnya isu di negara berkembang saat ini lebih kepada pemberdayaan penduduk yang dapat dikatakan sudah cukup terkendali.
Data Kemendukbangga sendiri mencatatkan terdapat 72,18 juta keluarga terdata di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 40 juta pasangan usia subur, 11,5 juta keluarga dengan kepala keluarga perempuan, 3,5 juta keluarga memiliki anak 0-23 bulan, 8,8 juta keluarga dengan anak 24-59 bulan, 36,6 juta keluarga memiliki anak remaja berumur 10-24 tahun, dan 21,1 juta keluarga individu berusia di atas 60 tahun.
“Dari 286 juta penduduk Indonesia, ada 192 juta yang usianya 14-65 tahun yang disebut bonus demografi. Ini yang kita pikirkan mau diapain jumlah ini,” tegas Wihaji.
Maka dari itu, dalam diskusi ini, Kemendukbangga/BKKBN ingin meminta masukan dan rekomendasi dari para pakar terkait apa yang harus dikerjakan dalam konteks membangun Peta Jalan Kependudukan, membangun kepastian keluarga berencana, dan membangun harapan bahwa masyarakat Indonesia bisa mandiri, berkualitas dan bahagia.
Program KB
Di tempat yang sama, Rektor UNJ, Prof. Komarudin, menambahkan bahwa kegiatan ini memiliki makna yang sangat penting karena berlangsung dalam momentum Hari Kontrasepsi Sedunia dan mengangkat tema yang sangat strategis memastikan komitmen kebijakan dan pembiayaan keluarga berencana yang berkelanjutan.
“Program KB bukan sekadar pengendalian jumlah penduduk tetapi investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas keluarga dan SDM berkualitas,” urainya.
Menurutnya, memang jika dari sisi total fertility rate, Indonesia sudah di kisaran 2,1 anak per perempuan. Namun masih ada perbedaan disparitas per daerah yang perlu menjadi perhatian bersama.
“Artinya bahwa kewajiban kita untuk membuat semua daerah mencapai target dan secara nasional pengendaliannya harus tetap dipertahankan tidak seperti negara di Skandinavia dan Jepang yang cenderung minus atau negara lainnya,” kata Prof. Komarudin.
Hal yang paling penting, tegasnya, kualitas kependudukan, baik individu dan keluarga. Maka dari itu upaya membangun SDM yang unggul, keluarga yang tangguh, dan ekonomi yang inklusif disertai kemakmuran menjadi prioritas seluruh pihak.
“Sebagai tuan rumah diskusi ini, UNJ menegaskan posisinya sebagai pusat keunggulan akademik di bidang pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup melalui program doktor pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup di sekolah pascasarjana,” jelasnya.
“UNJ berkomitmen menghasilkan riset yang dapat memperkuat kebijakan kependudukan dan program KB. Secara khusus kalau kerja sama di bidang pendidikan kami siap bekerja sama dalam bidang kependidikan untuk studi lanjut S2 dan S3 program studi kependudukan dan lingkungan hidup. Kita yakin UNJ bisa berkontribusi terutama sebagai laboratorium kebijakan kependudukan. Itu harapan kami,” pungkas Komarudin. (Des/M-3)