Militer Israel keluarkan peringatan terakhir bagi warga Kota Gaza untuk mengungsi, sementara Hamas mempertimbangkan revisi rencana gencatan senjata Donald Trump. (AFP)
SITUASI di Gaza semakin memanas setelah militer Israel mengeluarkan peringatan terakhir bagi warga Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan. Langkah ini dilakukan di tengah serangan udara dan darat yang kian intensif.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menegaskan ini adalah kesempatan terakhir bagi warga sipil untuk meninggalkan kota sebelum pasukan Israel mempersempit pengepungan. “Siapa pun yang tinggal akan dianggap sebagai teroris atau pendukung teroris,” ujarnya.
Namun, pakar hukum internasional menilai perintah evakuasi semacam ini dapat dikategorikan sebagai pemindahan paksa. Warga sipil tetap memiliki perlindungan hukum meski tidak meninggalkan wilayah tersebut.
Serangan terbaru Israel menewaskan sedikitnya 51 orang dalam 24 jam terakhir, termasuk 36 korban di Kota Gaza. Laporan juga menyebutkan lima orang meninggal akibat tembakan tank Israel ketika sedang mengambil air, serta korban lain di sebuah sekolah yang dijadikan tempat pengungsian. Sejak perang dimulai hampir dua tahun lalu, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 66.000 warga Palestina tewas dan hampir 170.000 lainnya terluka.
Rencana Gencatan Sejata
Hamas dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk mengajukan revisi terhadap rencana gencatan senjata yang diajukan Presiden AS Donald Trump. Rencana tersebut menuntut Hamas untuk melucuti senjata, melepaskan 48 sandera dalam 72 jam, serta menerima kehadiran pasukan internasional di Gaza. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina dan menarik pasukannya ke zona buffer di tepi Jalur Gaza.
Menurut sumber Palestina, Hamas ingin perubahan pada klausul terkait pelucutan senjata dan jaminan Israel akan sepenuhnya menarik diri tanpa melakukan pembunuhan terhadap pimpinan Hamas. Meski begitu, kelompok militan sekutu Hamas sudah menolak rencana tersebut karena dinilai memberi Israel kendali penuh atas Gaza.
Sejumlah negara seperti Mesir, Qatar, Yordania, Arab Saudi, hingga Uni Emirat Arab menyatakan mendukung rencana Trump, sementara Hamas masih mempelajarinya. Diskusi internal diperkirakan berlangsung di Doha dengan mediator Mesir, Qatar, dan Turki.
Di tengah tekanan internasional dan kondisi kemanusiaan yang memburuk, Hamas berada di persimpangan sulit: menerima syarat yang dianggap sebagai bentuk penyerahan total, atau menolak dengan risiko perang semakin berkepanjangan. (The Guardian/Z-2)


















































