Karya Audya Amalia(Dok Isa Art Gallery)
ISA Art Gallery dengan bangga mengumumkan pameran terbarunya Conjunction of Drones, yang berlangsung pada 20 September 2025 di Wisma 46, Jakarta. Pameran ini menghadirkan karya dari sembilan seniman yang bereksperimen dan merespons material seperti benang, rambut, tumbuhan, kulit, dan kertas—subjek yang berada di keseimbangan antara asal organik dan manipulasi manusia.
Serat, khususnya, memuat dualitas: tumbuh dari bumi namun diproses melalui mesin. Judul pameran, dipinjam dari karya instrumental pendek Sufjan Stevens Conjunction of Drones (tanpa penggunaan drone sesungguhnya), memberikan nuansa awal bagi keseluruhan pameran.
Seperti akor singkat dalam karya musik tersebut, karya-karya yang ditampilkan bergema dengan ketekunan, ritme, dan repetisi. Dalam konteks ini, drones dipahami bukan hanya sebagai suara yang sering dianggap mengganggu, tetapi juga sebagai metafora atas keberlanjutan dan ingatan—kualitas yang juga hadir dalam praktik serat. Mereka menandai ruang ambivalensi antara kendali dan pelepasan, memperlihatkan bagaimana praktik kuno dan dorongan kontemporer berjumpa melalui bentuk-bentuk material.
Seniman yang berpartisipasi meliputi A. Sebastianus, Ari Bayuaji, Audya Amalia, Dian Mayang, Jumaadi, Kristoffer Ardeña, Sarita Ibnoe, Widi Pangestu, dan Samuel Xun. Conjunction of Drones mengajak audiens untuk merasakan bagaimana ritme, repetisi, dan materialitas saling bertautan, sekaligus mengungkap cara serat dan materi organik membawa ingatan, keberlanjutan, dan transformasi.
-
A. Sebastianus
A. Sebastianus mengeksplorasi memori sebagai arkeologi performatif, di mana objek dan gestur membawa jejak masa lalu ke dalam masa kini. Melalui karyanya, arsip dikonfigurasi ulang menjadi repertoar hidup tentang repetisi dan kembalinya kenangan. Serat menjadi pusat praktiknya sebagai wadah di mana memori terus-menerus dituliskan, disebarkan, dan dihidupkan kembali.
-
Ari Bayuaji
Dengan bekerja menggunakan material buangan seperti plastik yang dikumpulkan dari laut, Ari Bayuaji berkolaborasi dengan komunitas lokal untuk menghidupkan kembali teknik tenun tradisional. Karyanya
mengubah limbah ekologis menjadi ekologi tenun dan medan kontemplatif, menggabungkan kerapuhan lingkungan dengan ketangguhan budaya. Melalui praktik ini, menenun menjadi sekaligus ritual perbaikan dan bentuk aktivisme ekologis. -
Audya Amalia
Karya-karya Audya Amalia meneliti ingatan dan keintiman melalui keterhubungan halus antara rambut dan benang. Dengan menganyam jejak personal dan tubuh, praktiknya membicarakan tema identitas, kepedulian, dan lintasan waktu.
-
Dian Mayang
Karya tenun Dian Mayang mengubah memori dan emosi menjadi bentuk yang nyata sekaligus senantiasa bergeser. Seri terbarunya Limitless Embrace mengeksplorasi ikatan lintas generasi antara ibu dan anak perempuan, di mana perbedaan dan kasih sayang terjalin dalam puitika relasional tentang penerimaan.
-
Jumaadi
Jumaadi mengimajinasikan ulang simbol-simbol arketipe (dasar) dari tradisi Jawa dan Bali untuk mengeksplorasi memori, keterasingan, dan mitos. Dalam karya seperti Pohon Hayat dan Asal Mula, ia menampilkan asal-usul sebagai sesuatu yang jamak dan tidak stabil, tempat bentuk manusia, hewan, dan tumbuhan saling bercampur. Praktiknya menempatkan mitos bukan sebagai narasi yang tetap, melainkan sebagai tata bahasa hidup yang senantiasa ditafsirkan ulang
-
Kristoffer Ardeña
Kristoffer Ardeña berkarya dengan terpal, cat, dan material sehari-hari lainnya untuk merangkul peluang, ketidakstabilan, dan transformasi. Praktik kekaryaannya menyoroti bagaimana memori dan material menyatu dengan cara yang tak terduga, membingkai ulang proses penciptaan seni sebagai sistem hidup yang terbuka.
-
Sarita Ibnoe
Karya Sarita Ibnoe merangkul teknik pewarnaan alami sebagai tindakan mengenang. Karyanya menekankan ketidakabadian dan keterhubungan, di mana warna yang berubah dan tekstur rapuh menjadi perenungan atas
ingatan, transformasi, dan pelestarian. -
Widi Pangestu
Widi Pangestu mengeksplorasi bambu dan serat tumbuhan sebagai penanda budaya, dengan merujuk pada tradisi tenun dan tekstil lainnya. Karyanya merefleksikan bagaimana material alami membawa sejarah yang mengendap sekaligus potensi masa depan, merangkum waktu, alam, dan intervensi manusia.
-
Samuel Xun
Berakar pada proses manual, Samuel Xun mengeksplorasi adaptasi material spekulatif melalui warna, tekstur, dan bentuk. Karyanya menggunakan fantasi sebagai cara berpikir material, membayangkan kemungkinan dunia lain di mana materi diregangkan, dikombinasikan ulang, dan ditransmutasikan menjadi visi.
Melalui Conjunction of Drones, ISA Art Gallery mengajak audiens untuk merenungkan kegigihan memori, ritme, dan material lintas waktu. Dengan menyoroti praktik yang berakar pada serat dan materi rapuh, pameran ini membuka ruang dialog tentang keberlanjutan, transformasi, serta keterjalinan dunia manusia dan alam. Dengan merajut beragam suara artistik, pameran ini mendorong pengunjung untuk mempertimbangkan bagaimana material menyimpan kisah, serta bagaimana tindakan penciptaan dapat menopang masa depan yang berlandaskan
kepedulian dan ketahanan.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai pameran ini maupun pameran lain dari ISA Art Gallery, kunjungi situs web kami di www.isaartanddesign.com atau laman Instagram @isaart.id. (H-2)


















































